
Nias Barat – SuaraNusantara.com
Selama ini, orang mengenal Nias hanya sebatas pada budaya dan pariwisata pantainya. Tak heran jika kebanyakan orang bila ditanya apa yang mereka ketahui tentang Nias maka akan memberi jawaban sekitar pantai, lompat batu, rumah tradisional atau tari-tarian. Padahal bicara soal budaya dan pariwisata sebuah daerah, tidak akan lepas dari khazanah kuliner yang ada di daerah itu.
Hampir tidak ada orang yang mengidentikkan Nias dengan Gowi Nifufu, Bato Hambae atau Harinake, sementara daerah-daerah lain di nusantara sering dikaitkan dengan masakan tradisionalnya. Sebut saja misalnya Jogjakarta yang sering dibicarakan lewat kelembutan gudegnya, Solo dengan tengklengnya, Surabaya dengan menu rawonnya yang melegenda, atau rica-rica di Manado, papeda di Maluku dan Papua, Soto Betawi di Jakarta, dan sebagainya. Belum terhitung rendang Padang yang dikenal sampai ke mancanegara dan pernah dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia.
Hal seperti itu jelas disayangkan, mengingat seperti daerah lainnya di nusantara, Nias sangat kaya akan hidangan tradisional warisan leluhur yang unik, khas, dan terkadang eksotis. Biasanya, menu tradisional Nias terdiri atas ubi atau pisang rebus yang disantap dengan sayur, babi atau ikan. Teknik memasak hidangan Nias memang tidak rumit, kebanyakan hanya menggunakan teknik rebus, goreng dan bakar. Untuk sayuran biasa direbus atau diolah menjadi semacam gulai. Demikian pula dengan babi dan ikan.
Terkait penggunaan minyak untuk menggoreng, pada masa lalu digunakan minyak dari lemak babi atau minyak kelapa yang dibuat sendiri. Tapi sekarang lebih banyak digunakan minyak kelapa sawit produksi pabrikan yang lebih praktis. Sedangkan untuk urusan pengawetan bahan makanan, masyarakat Nias sejatinya tidak mengenal teknik fermentasi. Jadi jangan berharap banyak dapat menemukan sayuran yang diolah seperti kimchi ala Korea atau sayur asin khas Tionghoa di sini. Tapi teknik pengasapan dari semua bagian pohon kelapa yang dibakar (ni’unagö/nihunagö), dan teknik pengasinan (ni’owuru) banyak dilakukan sejak dulu kala, terutama untuk mengawetkan ikan dan daging babi.

Kuliner Nias terbilang “pelit” untuk urusan bumbu. Umumnya hanya menggunakan bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan sedikit lengkuas. Bahan lainnya paling sebatas cabai dan santan kelapa. Tidak ada bumbu pelengkap seperti terasi, kecap manis atau kecap asin, apalagi tauco.
Uniknya, meski letak Kepulauan Nias berdekatan dengan daerah lain di Provinsi Sumatera Utara, namun andaliman, kecombrang atau bumbu kari, sama sekali tidak digunakan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kuliner tradisional Nias relatif tidak dipengaruhi oleh budaya dari luar. Meski begitu, sebagian besar daerah di Nias masih bergantung pada impor sayuran yang berasal dari Kabupaten Karo dan sekitarnya.
Sayangnya, beberapa jenis hidangan saat ini sudah hampir dilupakan. Bukan hanya masyarakat etnis lain yang merasa asing dengan kuliner Nias, namun generasi muda Nias sendiri, terutama yang tinggal di perkotaan atau bermukim di luar Kepulauan Nias, banyak yang tidak mengenal menu tradisional warisan nenek moyangnya, atau sebatas tahu namanya, tapi belum pernah sekalipun melihat apalagi mencicipinya.
Adalah Pemerintah Kabupaten Nias Barat yang belakangan ini tergerak untuk melestarikan sekaligus memperkenalkan hidangan tradisional Nias kepada khalayak luas. Dalam setiap kegiatan, termasuk rapat-rapat dan pertemuan internal dalam lingkup Pemkab Nias Barat, panganan tradisional seperti pisang rebus, godo-godo, talas dan sebagainya wajib dihidangkan.
“Tujuannya untuk melestarikan kuliner sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Selain itu supaya masyarakat mau menggali kembali kearifan lokal yang terkandung dalam menu masakan tradisional kita,” ujar Bupati Nias Barat Faduhusi Daely, SPd, kepada Suara Nias, di sela-sela sebuah acara, beberapa waktu lalu.
Menurut bupati, ada banyak filosofi yang mengiringi pembuatan suatu jenis masakan. Misalnya ikan yang diawetkan dengan cara diasap, hal itu dilatari kesulitan yang dihadapi masyarakat nelayan di wilayah pesisir ketika tidak bisa melaut pada saat ombak sedang tinggi. Supaya warga memiliki persediaan makanan, maka dibuatlah ikan asap.
Filosofi pun memaknai tata cara makan, bahkan bentuk dari beberapa masakan yang ada. Misalnya, ikan yang disajikan dalam sebuah perjamuan resmi pantang disajikan dalam bentuk utuh, karena dianggap amis saat disantap oleh tamu.
“Saya khawatir budaya kuliner Nias akan punah perlahan-lahan. Apalagi mengingat pada masa lalu orang Nias tidak mengenal tulisan. Cerita dan filosofi kebudayaan hanya disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga banyak yang tidak terdokumentasikan dengan baik,” katanya.
Bupati mencontohkan beberapa pergeseran yang terjadi dalam budaya kuliner Nias. Pada masa lalu, ujarnya, masakan Nias umumnya menggunakan daging babi, rusa dan ikan. Daging sapi dan ayam kurang diminati karena dianggap rumit pemeliharaannya. Pada zaman sekarang, rusa sudah punah di Nias. Maka masyarakat lebih banyak mengkonsumsi daging babi, sapi, ayam dan ikan.
“Karena tidak terdokumentasikan dengan baik, bukan mustahil generasi muda tidak tahu bahwa di masa lalu, nenek moyang mereka gemar mengkonsumsi daging rusa, bahkan bukan hanya daging rusa dari hasil perburuan di hutan, melainkan juga rusa yang diternakkan. Generasi muda juga banyak yang sudah tidak tahu jenis panganan yang terbuat dari pucuk daun talas, karena saat ini sudah cukup sulit menemukannya. Itu baru contoh kecil saja,” katanya.
Bupati Faduhusi Daely yakin bila kita mau melestarikan dan mempromosikan menu-menu tradisional Nias, bukan mustahil dapat menunjang kebangkitan sektor pariwisata yang pada akhirnya bisa menambah Pemasukan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan masyarakat setempat di masa mendatang.
“Saya berharap masyarakat mau mengoptimalkan pemanfaatan budaya kuliner kita. Bayangkan bila kita mampu membuat kreasi makanan tradisional yang dikemas dan dijadikan sebagai oleh-oleh yang dapat dibeli oleh para wisatawan yang berkunjung kemari? Apalagi bila makanan kemasan tersebut dapat kita ekspor ke daerah lain. Tentu hal itu bisa menambah kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Bupati juga mengimbau para pengusaha kuliner untuk membuka rumah makan yang khusus menjual makanan khas Nias. Dengan demikian, bila wisatawan ingin mencicipi kelezatan makanan khas Nias yang baru diolah dari dapur, mereka dengan mudah dapat menemukannya.
Memang sangat disayangkan bila warisan budaya berupa kuliner itu harus hilang digerus zaman. Untuk itu, langkah Pemkab Nias Barat yang ingin melestarikan kekayaan kuliner patut diapresiasi dan ditiru oleh daerah-daerah lainnya di Kepulauan Nias. Sebab, jika orang Nias saja sudah tidak mengenal masakannya, bagaimana dengan orang luar ? (Eksaudin Zebua)