
Nias Barat – SuaraNusantara.com
Ada sebuah kisah mengharukan terjadi di Desa Sisobandrao, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias Barat. Seorang kakek berusia sekitar 60 tahun bernama Fati’aro Hia (Ama Beba) yang sudah sakit-sakitan, terpaksa hidup berdua saja dengan cucunya. Kondisi kakek tersebut sangat memprihatinkan. Penyakit sesak nafas yang sejak lama diderita ditambah asupan gizi sehari-hari yang sangat buruk membuat fisiknya ringkih.
Dengan keadaan seperti itu, tak heran kondisi rumahnya menjadi pengap. Bau busuk langsung menerpa begitu kita masuk ke dalam rumahnya yang kotor dan beralaskan tanah. Lebih memprihatinkan lagi nasib cucunya, Wahyu Hia. Meski secara fisik bocah enam tahun itu terlihat sehat, namun tidak ada yang bisa menjamin jika di masa depan dia tidak akan terserang penyakit akibat buruknya kondisi kebersihan di rumah tersebut.
Sehari-harinya, Ama Beba lebih banyak mengandalkan belas kasih dari para tetangga. Sedemikian lemahnya fisik Ama Beba, hingga untuk buang air saja, dilakukannya di dekat tempat tidur. Bisa dikatakan, beberapa tetangga sekitar menjadi dewa penyelamatnya selama ini, karena mereka sering memasakkan makanan untuknya.
Dua anak Ama Beba bekerja di perantauan, namun hanya sesekali mampu mengirimkan uang yang tidak seberapa jumlahnya. Biasanya uang itu dikirimkan dengan cara dititipkan ke tetangga yang sama-sama bekerja di tanah rantau dan kebetulan sedang pulang kampung.
Selain tetangga yang masih peduli padanya, satu-satunya hiburan dan pemberi semangat bagi Ama Beba adalah cucunya sendiri yang tiap hari dengan setia menemani. Tiap kali menatap bola mata cucunya, Ama Beba tahu bahwa dia harus terus bertahan hidup. Ama Beba tidak sanggup membayangkan bagaimana nasib cucunya kelak jika harus hidup sebatang kara.
Ama Beba sebenarnya paham bila sang cucu harus sekolah, karena dengan pendidikan yang baik, siapa tahu masa depannya akan cerah. Namun apa daya, keterbatasan ekonomi lagi-lagi menjadi lingkaran setan yang membuat sebagian warga Nias seperti dirinya, selamanya terkutuk harus hidup dalam kemiskinan.
“Harusnya dia (Wahyu Hia) sudah sekolah tahun ini. Tapi kami tidak punya uang untuk beli pakaiannya,” tutur Ama Beba dengan nada terisak. Garis-garis kerutan di wajahnya semakin jelas ketika dia mengatakan hal itu.
Hal lain yang kerap merisaukan batin Ama Beba adalah kondisi rumahnya yang tidak layak huni karena kotor. Beberapa kali, dengan sisa tenaga yang ada, Ama Beba sebisanya berusaha membersihkan rumah itu. Pekerjaan bersih-bersih rumah tentu bukan hal mudah bagi seorang renta yang seluruh persendiannya sudah sulit untuk digerakkan. Namun Ama Beba terpaksa melakukan itu supaya cucunya tidak jatuh sakit lantaran tinggal di rumah yang kotor dan pengap.
“Tidak mungkin kita merepotkan tetangga lagi buat bantu bersih-bersih. Selama ini mereka sudah cukup banyak membantu,” katanya.
Berobat ke dokter sebisanya dihindari oleh Ama Beba, mengingat dirinya tidak punya uang, dan tidak mempunyai Kartu BPJS. Ama Beba tidak tahu ke mana dan bagaimana cara mengurus kartu tersebut.
Kisah Ama Beba dan cucunya kiranya dapat menjadi refleksi bagi kita semua, khususnya generasi muda Nias yang karena alasan ekonomi seringkali terpaksa meninggalkan orangtua untuk merantau ke daerah lain. Kisah ini seharusnya juga dapat menjadi perhatian tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten Nias Barat, khususnya Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan agar lebih memerhatikan kehidupan warga yang menjadi tanggungjawabnya.
Semoga Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Barat tergerak untuk memberi bantuan pengobatan bagi Ama Beba, dan Dinas Pendidikan mau memerhatikan masa depan pendidikan bagi Wahyu Hia. Semoga pula ada di antara pembaca yang tergerak hatinya untuk memberikan bantuan bagi keluarga malang ini. (Eksaudin Zebua)