
Jakarta, SuaraNusantara
Majelis hakim pengadilan rakyat internasional atas kejahatan kemanusiaan periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 menyebutkan tiga negara terlibat atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan selama 1965-1966.
“Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung sepenuhnya di bawah tanggung jawab Negara Indonesia,” ujar Ketua Hakim IPT 1965, Zak Yacoob, melalui rekaman video yang diputar di YLBHI, Jakarta, Rabu (20/07/2016).
Dalam putusan akhir yang dibacakan itu, Indonesia dianggap bersalah dan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1966. Dua pelanggaran HAM berat yang dilakukan Indonesia yakni kejahatan kemanusiaan dan genosida.
Yacoob mengungkapkan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan,’ dilakukan negara kepada masyarakat dengan ‘sistematis, diam-diam tapi meluas.’ Ada sepuluh kejahatan HAM berat yang dilakukan kala itu, mulai dari pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida.
Kejahatan kemanusiaan itu, ujar Yacob, dilakukan terhadap “para pemimpin PKI, anggota atau simpatisannya, loyalis Sukarno, dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), serikat buruh, serikat guru, dan khususnya kalangan Tionghoa atau yang berdarah campuran.
“Ini dapat digolongkan dalam genosida karena tindakan ini diarahkan pada kelompok-kelompok tertentu, dengan tujuan khusus untuk menghancurkan sekelompok, sebagian atau seluruhnya. Tindakan tersebut menyangkut sejumlah tindakan yang tertera dalam Konvensi Genosida 1948,” katanya.
Diberitakan Media Barat
Dalam salinan putusan disebutkan pembunuhan massal setelah 30 September 1965 telah dimuat oleh beberapa laporan media massa Barat. Contoh yang disebutkan ialah laporan yang dibuat The Age (Melbourne) pada Januari 1966 oleh wartawan Robert Macklin. Dia dan istrinya menyaksikan peristiwa pembunuhan.
“Kami melihat empat desa di mana semua lelaki dewasa telah dibunuh. Kami melihat kuburan massal di mana dalam tiap kuburan itu dipenuhi sampai 10 komunis laki-laki dan perempuan setelah mereka ditusuk hingga meninggal.”
Selain itu, pada 4 Maret 1966, The Boston Globe menerbitkan sebuah komentar oleh wartawan terkenal Joseph Kraft di mana ia melontarkan pertanyaan: “Indonesia, negara terpadat kelima di dunia, telah menjadi ajang pembunuhan skala besar yang terus belanjut, sekitar 300.000 orang dibunuh sejak November tapi di sini, pembantaian itu tidak membangkitkan perhatian.”
Pada April 1966 kepala koresponden asing The New York Times, C. L. Sulzberger, menggambarkan pembunuhan di Indonesia sebagai “salah satu pembantaian paling kejam dalam sejarah,” menyaingi pembantaian “Armenia oleh Turki, kelaparan di Kulaks oleh Stalin, genosida kaum Yahudi oleh Hitler, pembunuhan Muslim-Hindu yang mengikuti pembagian India, pembersihan besar-besar-besaran setelah Komunisasi di Tiongkok” dalam hal skala dan kebiadaban.
Laporan lainnya dibuat oleh wartawan senior AS Seymour Topping melaporkan temuannya dengan panjang lebar di koran yang sama pada Agustus 1966. Ia mengamati bahwa “eksekusi biasanya dilakukan oleh militer di Jawa Tengah dan Bali dan bahwa masyarakat di Jawa Tengah dan Bali juga dihasut oleh tentara dan polisi untuk membunuh.”
Yacoob menyebutkan Amerika memberi dukungan kepada militer Indonesia, padahal tahu dengan jelas adanya pembunuhan massal atas anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keluarganya. “Bukti paling jelas adalah adanya daftar nama pejabat PKI yang memudahkan penangkapan atau pembantaian atas nama-nama tersebut,” kata Yacoob.
Adapun Inggris dan Australia dalam putusan disebut melakukan kampanye propaganda palsu yang terus berulang, meskipun terjadi pembunuhan massal secara terang. “Pemerintah negara-negara ini padahal tahu benar melalui jalur diplomatik dan laporan media,” kata Yacoob.
Sidang Pengadilan Rakyat Internasional, IPT 1965, berlangsung pada 10 hingga 13 November 2015 lalu. Di hadapan dua hakim internasional, sebanyak 10 orang telah menjadi saksi untuk ‘mengungkap kebenaran’ terhadap apa yang terjadi pasca tragedi 1965, termasuk Bradley Simpson dan Herlambang Wijaya.
Bradley Simpson menyatakan bahwa Martens dan analis CIA di Kedutaan menciptakan profil rinci PKI dan organisasi yang terafiliasi dengannya dari kepemimpinan nasional hingga ke regional, provinsi, dan kader lokal. “Ini disampaikan melalui pejabat Indonesia” ke Soeharto, yang menggunakannya untuk melacak anggota PKI untuk penangkapan dan eksekusi,” bunyi salinan putusan itu.
Sebagai rekomendasi Yacoob meminta pemerintah Indonesia “meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan lain yang terjadi di Indonesia terkait dengan peristiwa 1965 dan sesudahnya.”
PT 1965 juga meminta pemerintah melakukan “penyidikan dan mengadili semua pelanggaran terhadap kemanusiaan.”
Pemerintah pun diminta untuk memberikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas (korban yang berhasil selamat dan masih hidup). (fajar)