
Jakarta-SuaraNusantara
Belakangan ini, Pesta Ya’ahowu kembali jadi perbincangan hangat. Untuk pertama kalinya, setelah mati suri bertahun-tahun lamanya, event kebudayaan terbesar di Kepulauan Nias ini akan kembali digelar pada 17 September – 26 November 2016 mendatang.
Berbagai atraksi budaya dan perlombaan akan mengisi kegiatan yang berlangsung sekitar 2 bulan lebih itu. Melibatkan seluruh kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Nias, pembukaan Pesta Ya’ahowu dilakukan pada 17 September di Lapangan Orurusa, Telukdalam, Nias Selatan. Sementara penutupannya dilangsungkan di Kota Gunungsitoli pada 26 November 2016.
Selain Kabupaten Nias Selatan dan Kota Gunungsitoli yang menjadi tuan rumah, semarak Pesta Ya’ahowu juga akan terasa di Kabupaten Nias, Nias Barat dan Nias Utara. Sebab pada rentang waktu Agustus-September, digelar pemilihan duta wisata di 3 kabupaten tersebut.
Khusus di Kabupaten Nias Utara, pada bulan September juga digelar pertunjukan seni budaya, festival kuliner, lomba paduan suara, maena, olahraga tradisional, lomba desain busana tradisional dan peragaan busana tradisional.
Pesta Ya’ahowu kali ini diharapkan dapat mendorong bangkitnya pariwisata Pulau Nias. Melalui event ini, setidaknya pariwisata Pulau Nias akan kembali menjadi sorotan media massa, sehingga keberadaan obyek-obyek wisata unggulan yang ada dapat terpublikasikan.
Tak heran jika antusiasme masyarakat kali ini terasa begitu besar. Masyarakat menaruh harapan bahwa Pesta Ya’ahowu 2016 dapat menjadi solusi paling jitu untuk mengatasi berbagai masalah di sektor kepariwisataan. Bahkan banyak pihak yang sudah membayangkan bila Pesta Ya’ahowu akan semegah Pesta Danau Toba.
Namun Ketua Bidang Lembaga Seni Budaya dan Pariwisata DPP HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias Indonesia) Drs. Penyabar Nakhe, yang juga menjadi Koordinator Pelaksana event Pesta Ya’ahowu 2016 mengingatkan, Pesta Ya’ahowu hanyalah satu dari 12 Tahapan Program Pembangunan Kepariwisataan Kepulauan Nias yang dicanangkan bersama Kementerian Pariwisata.
“Kita sangat bersyukur melihat animo masyarakat yang begitu besar pada event Pesta Ya’ahowu 2016. Namun saya mengingatkan, Pesta Ya’ahowu bukan obat mujarab yang dapat menghidupkan sektor pariwisata Pulau Nias dalam waktu semalam. Kenyataannya, Pesta Ya’ahowu hanyalah satu dari 12 tahapan program yang harus kita jalani bila ingin memajukan bidang kepariwisataan,” ujarnya kepada SuaraNusantara ketika dihubungi melalui selular, Kamis (25/8/2016).
Penyabar menjelaskan, ke-12 tahapan tersebut selengkapnya adalah sbb:
Tahap 1 adalah Penguatan Komitmen 5 Kepala Dinas se-Kepulauan Nias yang dilaksanakan dalam bentuk pertemuan di Gedung Kementerian Pariwisata RI di Jakarta pada 1 Februari 2016, dan dalam bentuk Rakor ke-1 yang difasilitasi oleh Pemkab Nias pada 11-13 Februari 2016.
Tahap 2 adalah Penguatan Komitmen 5 Kepala Daerah se-Kepulauan Nias, sekaligus Rakor ke-2 yang diselenggarakan pada Jum’at, 6 Mei 2016 di Kabupaten Nias Selatan.
Tahap 3 berupa Launching Pesona Nias Pulau Impian yang diselenggarakan pada 2-3 Juni 2016 di Gedung Kementerian Pariwisata, Jakarta.
Tahap 4 berupa Rakor ke-3 pada 20-21 Juni 2016, dengan Pemkab Nias Barat sebagai tuan rumah.
Tahap 5 pada 22 Juni 2016 di Museum Nias, berupa sosialisasi tagline Nias Pesona Pulau Impian dan Pesta Ya’ahowu kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan seni budaya, pelaku wisata, akademisi, dan media massa di Pulau Nias.
“Tahap 6 adalah penyelenggaraan Pesta Ya’ahowu pada 17 September – 26 November 2016. Jadi, Pesta Ya’ahowu ini ibaratnya baru setengah perjalanan menuju puncak,” kata Penyabar.
Tahap 7 berisi Penyusunan Rencana Induk Pembangunan dan Pengelolaan Pariwisata.
Tahap 8 adalah penyusunan proposal untuk Pesta Ya’ahowu 2017.
Tahap 9 berupa Rakor ke-4 yang rencananya diadakan pada bulan Oktober 2016 di Kabupaten Nias Utara sebagai tuan rumah. Pada Rakor ke-4 ini, akan dibentuk Pokja Pariwisata dan Forum Tata Kelola Destinasi Wisata Kepulauan Nias.
Tahap 10 dimulai pada awal Desember 2016 di Kota Gunungsitoli. Agendanya penyusunan Panitia Pesta Ya’ahowu 2017.
Tahap 11 pada Februari 2017, merupakan tahap penguatan kerjasama dengan kementerian dan lembaga/instansi pendukung pariwisata, seperti Menko Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perikanan, Kementerian PU, TNI/Polri, Dewan Kerajinan Tangan Nasional, Badan Ekononomi Kreatif Nasional, Perindag, BUMN, dll. Juga penguatan kerjasama dengan para investor dan pelaku/industri pariwisata nasional.
Tahap 12 adalah pelaksanaan Pesta Ya’ahowu 2017.
Penyabar meminta masyarakat untuk tidak membandingkan Pesta Ya’ahowu dengan Pesta Danau Toba. “Untuk saat ini, kita (Pesta Ya’ahowu) jelas masih jauh di bawah mereka (Pesta Danau Toba),” katanya.
Dia menjelaskan, Pesta Danau Toba telah dipersiapkan sejak 3 tahun lalu dan didukung dengan dana APBN dari pemerintah pusat. Selain itu, Danau Toba memiliki Badan Otoritas Pariwisata. Sementara persiapan Pesta Ya’ahowu baru dilakukan dalam beberapa bulan terakhir, dana penyelenggaraan sangat minim, dan belum ada Badan Otoritas Pariwisata yang berwenang untuk membangun infrastruktur seperti bandar udara, jalan raya, jaringan internet dan sarana pendukung kepariwisataan lainnya.
“Di masa depan, bukan mustahil Pesta Ya’ahowu dapat menyamai kemegahan Pesta Danau Toba. Tapi saat ini, kita harus realistis. Sekali lagi, jangan berharap Pesta Ya’ahowu dapat menyulap wajah pariwisata Pulau Nias dalam waktu semalam. Tapi Pesta Ya’ahowu memang diharapkan dapat turut berperan dalam mendorong bangkitnya bidang pariwisata kita,” katanya.
Momentum kebangkitan pariwisata
Senada dengan Penyabar Nakhe, pengamat sosial Yusman Zendrato mengatakan, Pesta Ya’ahowu tidak bisa menjadi solusi dari berbagai masalah kepariwisataan yang terjadi di Pulau Nias, tapi event ini setidaknya bisa jadi momentum kebangkitan pariwisata di sana.
“Banyak faktor penentu keberhasilan lainnya, seperti dukungan dana dari pemerintah pusat untuk membangun dan mengembangkan destinasi wisata, kerjasama yang harmonis antar kepala daerah untuk memajukan pariwisata, dan kesiapan masyarakat dalam menerima kunjungan wisatawan,” ujarnya ketika dihubungi melalui selular, Kamis (25/8/2016).
Selama ini, ujar Yusman, dunia tahu Pulau Nias hanya sebatas lompat batu di Desa Bawömataluo, surfing di Pantai Sorake atau situs-situs purbakala di Gomo, yang semuanya berada di Nias Selatan. Jika ingin pariwisata benar-benar maju, katanya, seluruh kabupaten/kota di Kepulauan Nias harus mampu membangun destinasi wisata unggulan masing-masing, dan itu tidak mudah dilakukan.
“Kita harus mengakui sejauh ini cuma destinasi wisata di Nias Selatan yang relatif siap untuk ‘dijual’. Tapi jika obyek wisatanya cuma itu-itu saja, lama-lama wisatawan juga akan bosan,” katanya.
Yusman meminta seluruh kepala daerah se-Kepulauan Nias untuk menanggalkan ego sektoral dan saling membantu dalam upaya membangun destinasi wisata baru di masing-masing daerah. Pemerintah daerah juga harus bekerjasama dengan biro-biro wisata serta seluruh pelaku pariwisata lainnya, sebab mereka yang paling tahu apa yang jadi keinginan wisatawan.
“Lalu buat paket-paket tour yang baru. Tidak perlu paket tour skala besar, yang kecil-kecilan pun dapat dibuat. Misalnya tour wisata kuliner dimana wisatawan dibawa berkeliling ke lima kabupaten/kota untuk mencicipi berbagai hidangan tradisional. Atau wisatawan yang punya hobi berburu dapat diajak merasakan sensasi menginap di dalam hutan sambil berburu hewan liar,” katanya.
Menurut Yusman, di kota-kota dan negara lain paket-paket tour seperti itu sudah umum dibuat. Bahkan paket tour yang ‘nyeleneh’ seperti tour berburu hantu juga ada di banyak negara. “Intinya kita harus kreatif dan mau memahami keinginan wisatawan. Tidak semua turis punya selera yang sama. Itulah yang kita akomodir,” katanya.
Yusman berpendapat, saat ini tidak semua daerah di Kepulauan Nias punya destinasi wisata yang bisa dijual sebagai obyek wisata kelas dunia. Untuk itu, bagi daerah yang minim potensi obyek wisata, maka pembuatan paket-paket tour semacam itu dapat menjadi solusi sementara. (Fajar)