
Nias Selatan-SuaraNusantara
Warga Desa Tuhemberua, Sabtu (18/9/2016) silam, tiba-tiba dikejutkan dengan bau busuk yang sangat menyengat. Tidak seorang pun warga desa hasil pemekaran dari Desa Hilimbulawa, Kecamatan Amandraya, Kabupaten Nias Selatan, itu yang tahu dari mana bau tersebut berasal.
Rasa penasaran warga pada bau yang mulai tercium sekitar pukul 18.00 WIB petang itu kemudian mendorong mereka untuk menelusuri sumber bau yang mirip bau bangkai. Tak dinyana, bau tersebut ternyata berasal dari sekuntum bunga berukuran besar yang sedang mekar.
“Kami tidak tahu sebelumnya bahwa bunga itu adalah penyebab bau bangkai itu,” tutur seorang warga, Mesiami Bu’ulölö (65 tahun), saat ditemui SuaraNusantara di kediamannya, kemarin.
Dalam waktu sekejap, warga pun berbondong-bondong mengerumuni bunga tersebut. Tak sedikit dari mereka yang mengkaitkan kemunculan bunga ini dengan hal-hal mistis.
“Banyak warga menyampaikan ini merupakan guna-guna, ada juga yang menyampaikan ini pertanda akan ada musibah,” tambah Masiami.
Masiami Bu’ulölö menjelaskan, bunga yang kemungkinan besar berjenis Raflesia (bunga bangkai) ini awalnya tiba-tiba tumbuh di kebun ubi yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya. “Awalnya memang tanaman ini muncul di kebun ubi saya dengan berbentuk seperti jantung pisang, dan setelah satu minggu kemudian mekar sampai memunculkan bau tak sedap,” jelasnya.
Menurutnya, warga sekitar sempat protes atas kehadiran tanaman ini karena baunya yang tak sedap itu, bahkan ada yang menuduhnya sengaja menanam tumbuhan tersebut. Tapi Masiami menjelaskan bila tanaman itu tumbuh dengan sendirinya.
Kabar munculnya bunga bangkai di Kepulauan Nias kemudian menyebar dan menjadi viral di media sosial. Ratusan orang telah melihat bunga bangkai yang baru pertama kali muncul di Desa Tuhemberua.

Bunga Rafflesia sendiri adalah bunga bangkai yang dapat mengeluarkan bau busuk. Di beberapa daerah lain seperti Bengkulu juga didapati jenis bunga ini. Selain bengkulu juga ditemukan di beberapa tempat lainya yang tersebar di Pulau Sumatra dan Kalimantan serta pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Nias, Enggano, Bangka, Belitung, Kep. Riau, Natuna, Batam, Buton, dll.
Dari berbagai literatur diketahui nama bunga Raflesia berasal dari nama Thomas Stamford Raffles, sementara Dr. Joseps adalah orang yang pertama kali menemukan bungan ini di Indonesia pada tahun 1818. Bunga ini tumbuh di jaringan tumbuhan merambat (liana) Tetrastigma serta tidak memiliki daun sehingga bisa dikatakan tidak mampu berfotosintesis.
Untuk spesies Rafflesia berukuran kecil seperti yang ditemukan di Desa Tehemberua, Kecamatan Amandraya, kemungkinan dapat dikategorikan sebagai Rafflesia Manillana karena ukurannya yang tergolong kecil atau lebih tepatnya disebut Bunga Bangkai/Bunga Daging. Ukuran Rafflasia Manillana ini kalah jauh dibandingkan Rafflesia Arnoldi yang diameter bunganya bisa mencapai lebih dari 1 meter.
Menurut Kasi Flora Museum Pusaka Nias, Lusia S. Telaumbanua, bunga rafflesia adalah bunga langka yang harus dilestarikan dan dibiarkan tumbuh. Masyarakat diimbau tidak panik dan jangan mengkaitkan kemunculan bunga ini dengan hal-hal mistis.
Dia menjelaskan, sebutir biji bunga bangkai biasanya butuh waktu 20 hingga 40 tahun untuk mekar yang pertama kalinya. “Waktu mekarnya sangat lama sehingga membuat kita menunggu (mekarnya), maka ketika waktunya tiba (sudah mekar), saya yakin banyak orang datang untuk melihatnya,” kata Lusia.
Saat ini bunga bangkai di Desa Tehemberua telah dipagari bambu dan dijaga oleh warga setempat agar bisa tetap utuh dan didilihat orang banyak. Bila saja Pemkab Nias Selatan mau memberi perhatian pada kemunculan bunga ini, bukan mustahil bisa dijadikan salah satu obyek wisata di Nias Selatan, meski untuk menunggu masa mekarnya diperlukan waktu bertahun-tahun. (Wilson Loi)