
Obat yang terasa pahit biasanya menyehatkan badan. Ini yang dialami Christian Zebua. Lelaki kelahiran 24 Oktober 1957 ini bersama adik-adiknya semasa kecil mendapat gemblengan keras orang tua. Pukul 5 pagi, sudah harus bangun, belajar, ibadah bersama, sarapan, lalu sekolah. Sore boleh bermain, tapi hanya diizinkan satu jam, dari pukul 16.00 hingga pukul 17.00.
“Lewat waktu bakal dihukum. Biasanya telinga dijewer atau satu kaki diangkat ke atas. Malam hari wajib ibadah bersama dan belajar selama dua jam sebelum tidur,” tuturnya kepada Pesona Nias yang menemuinya, baru-baru ini.
Semangat kebersamaan dilatih orang tuanya dari hal-hal kecil. Misalnya kalau ada anak yang dapat mangga, maka wajib diserahkan ke mami, nanti mami yang akan membaginya ke anggota keluarga. Pola hidup sederhana juga dijalani sejak kecil. Jangankan sepeda motor, sepeda dayung saja tidak punya.
“Hingga saya sekolah STM di Medan, saya jalan kaki atau terkadang dibonceng kawan ke sekolah,” tutur anak pertama dari pasangan Faogonaskhi Zebua-Yulia Zebua ini.
Ayah Christian bekerja sebagai panitera di Pengadilan Negeri Gunungsitoli. Dengan posisi itu, keluarganya bisa saja punya harta lumayan. Tapi, “Papi kami orangnya jujur. Uang diantar ke rumah nggak bakalan diladeni. Banyak bawahannya yang justru punya harta banyak. Papi kami biasa-biasa saja,” ungkapnya seraya mengakui didikan keras orang tualah yang mengantarkan keberhasilan dirinya.
Jalan Menjadi Panglima
Menjadi seorang prajurit, sesuatu yang tak pernah terlintas di benak ayah tiga anak ini. Orang tua berharap dirinya menjadi insinyur. Alasannya biar sukses seperti pamannya, Hadamen alias Ama Agus Mendrόfa, yang bekerja di perkebunan negara.
Selepas SMP Bunga Mawar Gunungsitoli pada 1973, Christian melanjutkan studi di STM Instruktur Kampung Baru Medan. Ia tidak tahu bahwa STM yang dimasukinya adalah sekolah yang lulusannya dipersiapkan menjadi guru, bukan teknisi atau insinyur. Akibatnya ketika ia mendaftarkan diri ke Universitas Sumatera Utara, jangankan ikut tes, mendaftar saja ditolak.
Ia lantas berdoa kepada Tuhan, “Kenapa saya tidak bisa mencapai cita-cita saya dan orang tua saya, Tuhan?” Doanya langsung terjawab. Dalam perjalanan pulang dari Kampus USU, ia melihat spanduk penerimaan taruna Akademi Militer. Mantan murid teladan di STM Instruktur itu langsung mendaftarkan diri.
Berbagai tes dihadapi dan berhasil dilewati, kecuali tes renang. “Saya nggak bisa renang. Tapi ketika disuruh renang sepanjang 15 meter, maka tak ada pilihan. Saya tutup mata, terjun sambil mengepak-kepakkan tangan. Sampai di garis finish, sempat pingsan!” ujarnya tergelak.
Akhirnya, lelaki dengan tinggi 163 cm itu dinyatakan lolos. “Ini perjuangan luar biasa. Saya sama sekali tidak mengandalkan uang apalagi koneksi. Saya mengartikan ini sebagai campur tangan Tuhan,” ujarnya.
Perjalanan karirnya di dunia kemiliteran cukup berliku dan penuh dinamika. Ia pernah ditugaskan atau sekolah ke luar negeri, antara lain ke Australia, Amerika Serikat, Kamboja, Bosnia, Singapura, Korea Selatan, India, Rusia, China, Thailand, Belanda dan Ukraina. Prestasinya cukup bagus. Kalau tidak rangking 1, setidaknya berada di 10 besar. “Kuncinya belajar keras,“ tegasnya.
Ia mencontohkan betapa kerja keras bisa membuahkan hasil. “Sebagai rangking satu lulusan Suslapa, saya diberi kesempatan kursus di Amerika Serikat. Tapi saya nggak pintar bahasa Inggris. Maka dalam waktu dua bulan, saya belajar keras. Tidur hanya 3 jam sehari. Di kamar tidur, kamar mandi, kantor atau dalam mobil dan di mana saja, saya belajar bahasa Inggris,” tuturnya.
Christian Zebua merupakan prajurit intelektual yang juga terlatih dalam operasi tempur. Ia terlibat dalam Operasi Seroja Timor-Timur (1984-1985), Operasi Perdamaian Kamboja (1992-1993), Operasi Perdamaian Bosnia (1995-1996), Operasi Pamtas RI-PNG (3012-2014), Operasi Pam-Rahwan Papua (2012-2014), Pam Pulau Terluar Papua (2014).
Sejumlah jabatan pernah disandangnya, antara lain sebagai Dandim 0203/Langkat (1 Agustus 1998-30 November 1999), Danrem 171/PVT Sorong Papua (15 April 2005-14 April 2006), Danpusdikter Pusterad di Cimahi (01 Maret 2007-24 September 2008), Kadispen AD (25 September 2008-04 Januari 2010), dan Pengajar Lemhanas (2011). Puncak karir militernya didapat ketika dipercaya menjadi Panglima Kodam XVII/Cenderawasih pada September 2012.
“Tapi baru 6 bulan menjabat, saya dicopot. Ada informasi salah tentang saya yang tidak dikonfirmasi petinggi TNI. Biasalah, intrik,” ujarnya.
Yang menarik, ketika ia dimutasi, tokoh- tokoh agama, tokoh adat, bahkan Gubernur Papua datang ke Jakarta, menghadap Presiden Soesilo Bambang Yudoyono. Sampai ada pendeta yang puasa tiga hari tiga malam. Perjuangan mereka tidak sia-sia. Dalam tempo 15 hari, atas perintah Presiden SBY, terbit SK baru tentang pengangkatan kembali Christian Zebua sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih hingga September 2014.
Bicara tentang Nias
Menurut Christian, Nias itu sesungguhnya hebat, baik alam maupun manusianya. Dalam kehidupan sosial, warga Nias punya kerangka filosofi seperti fabanuasa (cinta dan solidaritas kampung), falulusa (semangat gotong-royong), dan fatalifusόta (semangat persaudaraan). Inilah yang disebut modal sosial.
Menurutnya, orang Nias juga menjujung tinggi kehormatan, lewat ungkapan “sόkhi mate moroi aila”. Artinya, orang Nias tidak diletakkan sebagai suku atau komunitas yang rendah, menjadi pengemis.
“Kebanggaan sebagai Ono Niha perlu dibangun. Orang Nias jangan cengeng. Kita jangan mudah menyerah, seolah-olah tidak bisa berjuang tanpa uang dan koneksi,” tegasnya.
Christian yang kini aktif sebagai Ketua Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) Himpunan Masyarakat Nias Indonesia (HIMNI) ini tak jemu-jemu mengingatkan warga Nias agar senantiasa menghargai tokoh Ono Niha. “Kalau bukan kita yang menghargai tokoh Nias, lalu siapa? Kita ini miskin tokoh. Kenapa kita justru merendahkan diri sendiri?” ujar suami Deli Asnawita Mendrofa dan ayah dari dr. Christie Nur Andani Zebua, Christie Surya Maranatha Zebua, S.Kom, MBA, dan Christie Eliezer Satria Mohaga Zebua, SE ini. (Turunan Gulo)