
Indonesia baru merdeka 8 tahun. Di sebuah desa bernama Hilimbowo-Mandrehe, di pedalaman Nias bagian barat, seorang bocah bernama Fonali Lahagu yang biasa dipanggil Wo’a merasa gelisah. Ia terus memerhatikan anak-anak sekolah yang melintas di depan rumahnya. Fonali ingin seperti mereka. Bersekolah dari pagi hingga siang.
Tidak kuat menahan perasaan, Fonali minta kepada ayahnya agar boleh bersekolah. Sang ayah setuju. Maka dia pun masuk Sekolah Rakyat Desa Lahagu, yang berjarak sekitar 3 km dari kampungnya.
Setiap hari, bersama teman-teman, ia menapaki jalan sempit dan terkadang becek, menuju sekolah. Pulang sekolah, anak ke-11 dari 12 bersaudara, buah cinta Tageli Lahagu (A. Asanudi Lahagu) dan Sarila Waruwu ini kemudian membantu kakak salungnya yang punya warung kecil-kecilan.
Tahun pertama dan kedua bersekolah dilalui dengan normal. Namun pada tahun ke-3, dia disarankan oleh gurunya untuk lompat ke kelas 4. Ketika kelas 5, kembali dia disuruh gurunya untuk ikut ujian negara di Gunungsitoli.
Bersama beberapa kakak kelasnya, ia berangkat ke Gunungsitoli. Berjalan kaki selama 8 jam menyusuri hutan dan sungai. Hasilnya, bocah kelahiran 5 Februari 1946 ini dinyatakan lulus SD dalam waktu 4 tahun saja.
Orang tua dan keluarga gembira tak terkira. Maka Fonali didaftarkan ke SMP Negeri Gunungsitoli. Pada masa itu, sudah ada pembagian jurusan di kelas 3 SMP. Jurusan A adalah ilmu sosial, sementara Jurusan B ilmu pasti. Nilai Fonali sama baiknya untuk kedua jurusan tersebut.
Fonali sendiri berhasrat masuk Jurusan B. Tapi gurunya memasukkannya ke Jurusan A. Fonali protes, “Saya senangnya masuk Jurusan B, Pak. Kenapa saya dipaksa masuk jurusan sosial?”
Kejadian itu sangat berkesan dan dianggap sebagai salah satu titik balik dalam kehidupannya. “Kalau saya nurut kehendak guru, maka saya belum tentu jadi doktor kimia-nuklir,” ujarnya.
Menyeberangi Lautan Nias
Usai tamat SMP tahun 1960, Fonali minta disekolahkan di Solo, Jawa Tengah. Karena dianggap berprestasi, maka permintaannya diluluskan. Bersama seorang sepupu, ia menumpang kapal Tanjung Alang, menyisir pantai barat Sumatera menuju Jakarta. Setiba di Jakarta, perjalanan ke Solo dilanjutkan dengan kereta api.
Masa sekolah di SMA Katolik Xaverius, Solo, kemudian dilalui dengan lancar. Cuma, “Saya sempat tersiksa dengan menu tahu dan tempe yang rasanya manis,” kisahnya sambil terkekeh.
Tamat SMA pada 1963, Fonali melamar ke jurusan kedokteran dan kimia di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia diterima di jurusan kimia. Selama kuliah, dia tinggal di asrama Katolik yang dipimpin seorang pastor.
Tahun pertama, biaya dari kampung masih lancar. Tapi, tahun kedua dan ketiga sudah mulai macet. “Saya disidang sama pastor, karena dua tahun nggak bayar.”
Tak kehabisan akal, Fonali berangkat ke Gunungsitoli dan melobi pimpinan Gereja BNKP agar mendapatkan beasiswa. Dia pun kembali ke UGM dengan berbekal beasiswa dari RMG, satu lembaga donor mitra Gereja BNKP.
Sambil studi, ia mengajar di sebuah SMA di Yogyakarta. Tapi aktifitas mengajar menjadikan suami dari Merry Carolina Mamanua ini terlambat menyelesaikan studi. Beasiswanya terpaksa diputus.
Namun bantuan segera datang dari sebuah yayasan Katolik dan seorang pendeta GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Yogyakarta. Tetapi lagi-lagi studinya tersendat. Bantuan keuangan kembali diputus. Bahkan sang pendeta sempat marah dan memberi Fonali uang untuk pulang kampung saja. Tapi uang itu malah digunakan Fonali untuk menyelesaikan studi. Akhirnya dia lulus kuliah pada tahun 1975.
Tidak lama berselang, Fonali bekerja di Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Di sini, dia mendapat beasiswa untuk studi magister dan doktoral di Universite de Pierre e Marie Curie Paris, Perancis. Gelar doktor bidang kimia nuklir diraihnya tahun 1984.
“Ketika kecil saya bercita-cita jadi dokter. Dokternya gagal, saya malah dapat doktor,” ujarnya.
Menurut catatan, Fonali Lahagu merupakan orang Nias pertama yang menggondol titel Doktor. Setelahnya adalah Taliziduhu Ndraha pada 1985 dari UGM.
Pada 1995, terjadi Indonesianisasi di PT Freeport Indonesia. Ketika itu ada kebijakan agar PT Freeport memberikan ruang yang lebih besar bagi tenaga ahli dari Indonesia. “Tiba-tiba saya ditelepon bekas anak buah yang pernah kerja di Batan. Kebetulan dia punya jabatan di PT Freeport. Ia menawarkan posisi Manajer Departemen Mill Assay & Quality Control. Saya dikasih waktu hanya seminggu,” tutur Fonali.
Setelah berunding dengan istri dan atas seizin atasan, maka pada 1995, Fonali pensiun dini dari Batan, dengan jabatan terakhir Kepala Bidang Kimia Nuklir dan Proses.
Kerja Kemanusiaan
Karir di PT Freeport berakhir pada tahun 2000. Fonali kemudian ‘pulang kampung’ ke Yogyakarta dan mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, sambil aktif sebagai Ketua Badan Penasehat dan Pembina di Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRY).
Yakkum singkatan dari Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum, merupakan organisasi bentukan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Kristen Jawa (GKJ). Yakkum mengendalikan belasan rumah sakit, di antaranya RS Bethesda di Yogyakarta.
Dalam perjalanan waktu, secara tidak terduga, terjadi bencana tsunami di Aceh dan Nias pada Desember 2004. Tidak lama berselang, terjadi lagi gempa dahsyat mengguncang Nias pada 28 Maret 2005. Fonali dan tim bergerak ke Nias, untuk melakukan pelayanan kemanusiaan.
Pada November 2014, Yakkum mendirikan RS Gunungsitoli. Fonali dipercaya menjadi pimpinan di RS tersebut. Di bawah pimpinan Fonali, Yakkum dan belasan unit pelayanan kesehatan menjadi organisasi yang sehat.
Di usianya yang ke-68 tahun, ayah empat anak ini kemudian menggeluti pengembangan pariwisata Nias. Baginya, pariwisata berpeluang dan harus bisa menjadi lokomotif pembangunan Nias. “Potensinya sudah bergaung. Orang lain banyak memuji-muji kehebatan budaya serta keindahan alam Nias. Bagaimana mengembangkannya yang jadi persoalan,” terang Fonali.
Satu strategi kunci, katanya, harus disiapkan road map menuju Nias masuk Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Ide dan konsep pariwisata yang digagas Fonali, menarik perhatian Sapta Nirwandar yang beberapa tahun lalu menjabat Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf). Sapta sampai mengumpulkan beberapa pejabat tinggi di Kementerian Parekraf untuk membahas pariwisata Nias.
Fonali dan tim kemudian melanjutkan perjuangan membangkitkan pariwisata Nias dengan menggelar Sarasehan Nasional bertajuk “Membangun Kepulauan Nias Menjadi Tujuan Wisata Utama Kawasan Barat Indonesia”, yang diselenggarakan di Solo pada 7-9 September 2013. Kegiatan ini dilanjutkan dengan Lokakarya Nasional “Pengembangan Kepariwisataan Kepulauan Nias” di Gunungsitoli pada 18 Juni 2014.
Di luar kegiatan tersebut, banyak juga agenda-agenda yang dijalankan, terutama mengkoordinasikan pejabat di 5 kabupaten/kota di Kepulauan Nias. “Perlu penyamaan persepsi dan konsep bersama-sama sebagai satu kawasan Nias. Ini yang berulang kali dilakukan lewat beberapa kali pertemuan,” paparnya.
Usaha kerasnya menampakkan hasil. Pada tahun anggaran 2015, program pengembangan pariwisata Nias sudah masuk di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Ini artinya akan banyak anggaran yang digelontorkan untuk pengembangan parisiwata Nias,” ujarnya.
Demikian kiprah seorang Fonali Lahagu dalam berbagai karir dan aktivitas sosialnya. Kepada generasi muda Nias, ia berpesan: “Berteman baiklah dengan semua orang karena persahabatan akan memperkuat jejaring.” Dan, “Kekuatan jejaring itu dahsyat,” katanya. Terima kasih Pak Fon. (Turunan Gulo)