
Bila anda berkunjung ke Pulau Nias namun tidak punya cukup waktu atau dana untuk berkeliling ke seantero Nias, maka anda bisa datang ke Museum Pusaka Nias di Jl. Yos Sudarso No. 134 A, Gunungsitoli.
Di sini anda akan melihat miniatur Nias berupa ribuan artefak dari zaman megalithikum, raja-raja, hingga zaman kolonial Belanda. Tak ketinggalan rumah adat Nias yang mencerminkan kehidupan di masa lalu, serta fosil ikan hiu berumur jutaan tahun. Bahkan koleksi hewan langka dan tumbuhan khas Nias pun ada. Di sini disimpan pula bola nafo ukuran raksasa, 3 meter x 3 meter yang tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai tepak sirih terbesar di Indonesia.
Salah satu keunikan Museum Pusaka Nias adalah museum ini terintegrasi dengan obyek wisata tepi pantai. Bila bosan dengan suasana dalam museum, anda dapat bersantai dan berenang di pantai yang terletak di belakang museum.
Saat ini, Direktur Museum Pusaka Nias dijabat oleh Nata’alui Duha, pria sederhana kelahiran Desa Hilimondregeraya, Kecamatan Onolalu, 11 Maret 1972. Untuk mengenal lebih dekat sosok ayah tiga anak ini, beberapa waktu lalu, Pesona Nias datang berkunjung ke museum tersebut. Suami dari Oisanora Laia ini pun kemudian menuturkan sekelumit kisah perjalanan hidupnya.
“Ibu meninggal ketika saya berumur 2 tahun. Kemudian saya tinggal di asrama orang miskin di Desa Hilimondregeraya, Telukdalam, Nias Selatan,” tutur Nata’alui Duha, saat memulai percakapan.
Periode SD dan SMP dilaluinya di Kota Telukdalam. Sementara masa SMEA dihabiskannya di Kota Gunungsitoli. Pada masa ini, prestasi Nata’alui Duha terbilang bagus. “Saya tidak terlalu pintar, namun masuk rangking atau juara kelas,” katanya.
Ketika tamat SMP di tahun 1988, Nata’alui sempat diminta oleh seorang pastor untuk menjadi biarawan, namun dia menolak karena ingin menjadi guru fisika. Sayangnya dia terlambat mendaftar masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Akhirnya dipilihlah SMEA Gunungsitoli sebagai tempatnya menuntut ilmu.
Masa awal sekolah di SMEA di Gunungsitoli dilalui dengan perjuangan. Sambil sekolah, Nata’alui bekerja pada seorang Tionghoa di Kota Gunungsitoli. Tapi baru 2 minggu bekerja, dia sudah tidak betah, dan ingin kembali ke desa.
“Setelah saya berhenti kerja, saya ingin pulang ke Telukdalam. Namun dua hari berikutnya saya ketemu Pastor Yohanes yang meminta saya kembali sekolah dan bekerja di Museum Pusaka Nias,” katanya.
Pastor Yohanes yang dimaksudnya adalah Pastor Johannes M. Hammerle, OFM Cap, biarawan Ordo Kapusin yang selama 40 tahun menghabiskan waktu mengumpulkan artefak-artefak budaya Nias. Pastor Yohanes inilah yang mendirikan Museum Pusaka Nias dan menjadi direktur museum pertama di sana.
Usai tamat dari bangku SMEA pada tahun 1991, Nata’alui melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Gunungsitoli. Dia kuliah bukan di jurusan Fisika seperti cita-cita masa remajanya, melainkan mengambil jurusan Bahasa Inggris.
“Jurusan Bahasa Inggris itu merupakan pendidikan bebas, dalam artian bisa bekerja di mana saja. Kebetulan sejak duduk di bangku SMP, nilai saya untuk mata pelajaran Bahasa Inggris paling menonjol,” kenangnya.
Selama duduk di bangku SMEA dan IKIP Gunungsitoli, Nata’alui Duha bekerja di Museum Pusaka Nias. Tugasnya mengurus bangunan dan kebun. Selain itu, dia mendata artefak, serta mengetik naskah budaya dari catatan tangan dan rekaman Pastor Yohanes.
Setelah bertahun-tahun bekerja membantu Pastor Yohanes, akhirnya pada tahun 1996. Nata’alui secara resmi diangkat sebagai karyawan Museum Pusaka Nias di bidang pameran dan pendidikan budaya dan pengunjung.
Sejak 2003-2013, Nata’auli dipercaya mendampingi Pastor Yohanes sebagai Wakil Direktur Museum Pusaka Nias. Dari 2013 sampai sekarang, dia menjadi Direktur Museum yang dikelola oleh Yayasan Pusaka Nias itu.
Bagi Nata’alui, Museum Pusaka Nias telah menjadi kampus kedua dalam hidupnya. Karena di tempat ini banyak pengalaman dan pengetahuan dia dapatkan. Selain itu, dia berkesempatan bertemu banyak orang, dan hal itu menjadi pengalaman paling berkesan baginya.
Meski latar belakang pendidikan formalnya tidak spesifik di bidang permuseuman, tetapi berbekal pengalaman selama bekerja, Nata’alui menjadi pemerhati sosial dan budaya Nias yang aktif mempromosikan keunikan budaya Nias. Karena itu ia beberapa kali diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum, di antaranya Konferensi Internasional bertema The Culture is a Basic Need yang diselenggarakan oleh The Prince Claus Fund di Belanda pada 2006, dan Tsunami Sosial Pasca Bencana Alam dalam Masyarakat Nias dan Mitaka-Jepang” pada 2008 silam.
Dia juga mengikuti pelatihan dan studi banding ke berbagai museum di dalam maupun luar negeri, di antaranya Amerika, Belanda, Denmark, Jerman, Jepang, Thailand, dan Kamboja. Selain itu dia mendapat beasiswa dari The Ford Foundation dan Asian Cultural Council untuk ikut pelatihan pada Pusat Studi Permuseuman Internasional pada bidang Antropologi Universitas Denver, Colorado, Amerika Serikat di tahun 2004.
Lalu pada penghujung akhir tahun 2010, ia meraih beasiswa dari Pusat Antropologi Ratu Maha Chakri Sirindhorn (SAC) di Bangkok untuk mengikuti Intangible Cultural Heritage and Museums Field School yang diselenggarakan UNESCO-ICCROM dan Asian Academy for Heritage Management (AAHM) di Thailand.
Pada tahun 2014, kembali dia diberi kesempatan mengikuti kursus konservasi di Phnom Penh dan Siem Reap-Kamboja atas dukungan German-Cambodian Conservation School, Ministry of Culture and Fine Art of Cambodia, Embassy of the Federal Republic of Germany in Phnom Penh, Memot Center For Archaeology and German Apsara Conservation Project.
“Pengalaman studi tersebut lalu kita bagikan kepada 14 karyawan di sini sesuai bidangnya masing-masing,” jelasnya.
Kerja keras yang sudah dirintis oleh pendiri museum dan diteruskan oleh Nata’alui bersama karyawan lainnya ternyata membuahkan hasil. Tahun 2014, Museum Pusaka Nias mendapat predikat ‘terbaik’. “Dua tahun lalu, museum ini mendapat predikat terbaik di Indonesia. Tentunya itu turut mengharumkan nama Nias,” tuturnya.
Kebersihan museum menjadi salah satu kunci keberhasilan Nata’alui dan kawan-kawan dalam menjaga koleksi artefak. Karena kondisi museum bersih, ditambah staf museum yang ramah, menjadikan pengunjung betah berlama-lama, bahkan banyak pengunjung bermalam di museum ini.
Ya, selain menjadi tempat menyimpan benda-benda budaya, pengunjung, baik sendiri maupun berkelompok, diperbolehkan menginap di rumah adat yang ada di museum ini, tentunya dengan tarif per malam yang sudah ditentukan.
Nata’alui menjelaskan, memfungsikan rumah adat sebagai tempat penginapan, selain memberi kesempatan kepada pengunjung untuk merasakan suasana rumah adat, juga merupakan upaya mencari dana demi menjaga kelangsungan museum.
“Karena ini kan (museum) swasta, tentu dananya dari mana? Salah satunya dari situ (rumah adat),” jelasnya.
Di akhir perbincangan, Nata’alui berharap generasi muda Nias mau lebih berperan sebagai generasi penerus kebudayaan. “Sebab kebudayaan itu tidak hanya fisik, tetapi karakter dan mental,” katanya.
Selain itu, dia berharap peran pemerintah pusat dan daerah yang sangat diperlukan dalam mengembangkan dan memelihara peninggalan yang ada di Museum Pusaka Nias, termasuk mengembalikan benda-benda budaya Nias ada ada di luar negeri.
“Misalnya patung yang dulu disembah oleh masyarakat Nias. Setelah masyarakat Nias memeluk agama Kristen atau Islam, patung-patung itu kehilangan fungsi, tidak terpakai dan akhirnya terjual ke luar negeri,” tandasnya. (Wilson Loi)
Biodata
Nama lengkap : NATA’ALUI DUHA
Tempat Lahir : Hilimondregeraya
Tanggal Lahir : 11 Maret 1972
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Katolik
Alamat Surat : Jl. Yos Sudarso No. 134-A, Kotak Pos 16, Gunungsitoli 22812, Nias-Indonesia
Pendidikan Formal
Tahun 1985 : Tamat Sekolah Dasar Inpres No. 075068 Hilimondregeraya-Telukdalam.
Tahun 1988 : Tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bintang Laut Telukdalam.
Tahun 1991 : Tamat dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Swasta Gunungsitoli.
Tahun 1995 : Menyelesaikan Program Diploma III di IKIP Gunungsitoli
Tahun 2002 : Menyelesaikan Program Studi Strata-1 (S-1) di IKIP Gunungsitoli