Jakarta-SuaraNusantara
Gaji bulanan yang akan diterima petugas pemeliharaan prasarana dan sarana umum (P3SU) atau yang sering disebut “pasukan oranye” untuk tahun 2017 ini adalah Rp 3,3 juta atau naik Rp. 200 ribu dari upah tahun kemarin Rp. 3,1 juta. Jumlah itu menyesuaikan dengan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2017.
Jumlah gaji sebesar itu sementara ini dinilai sudah cukup. Apalagi anggota pasukan oranye tidak harus membayar biaya transportasi karena ada tunjangan, sementara anak-anak mereka sudah mendapatkan fasilitas berupa Kartu Jakarta Pintar (KJP).
“Kalau biaya hidup mereka murah, ada sembako dan macam-macam, transportasi sudah enggak bayar, anak sekolah sudah dapat KJP,” ujar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) usai bertemu dengan para petugas pasukan oranye di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2017) silam.
Bahkan, jika sudah memiliki tabungan yang cukup, Pemprov DKI Jakarta bersedia memberikan rumah susun bersubsidi. “Mereka pun gaji UMP sudah sisa, banyak simpanan. Makanya kita subsidi,” kata Ahok.
Penghasilan Rp 3,3 juta sebulan jelas tidak bisa membuat seseorang apalagi sekeluarga hidup nyaman di kota besar seperti Jakarta. Namun setidaknya jumlah itu masih jauh lebih besar dibanding yang diterima pekerja profesional seperti karyawan perusahaan pers (jurnalis).
Menurut survey yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), banyak perusahaan media memberikan upah di bawah layak. Padahal menurut Aji, idealnya upah layak jurnalis pemula sebesar Rp 7,54 juta yang berlaku bagi jurnalis yang baru diangkat tetap. Untuk jurnalis senior atau jurnalis yang telah lama bekerja, tentu upahnya bisa lebih tinggi.
“Upah layak itu angka ideal untuk jurnalis pemula. Dalam kenyataannya, upah yang setara dengan upah layak itu baru diterima oleh jurnalis setelah bekerja lebih dari lima tahun,” kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim, Minggu (1/5/2016) silam, dikutip dari kompas.com.
AJI Jakarta menilai bila upah layak tersebut diberikan ke jurnalis, maka akan meningkatkan mutu produk jurnalisme. Hal ini dikarenakan jurnalis bisa bekerja secara profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang merusak independensi jurnalis.
AJI Jakarta menghitung upah layak tersebut dari 40 komponen kebutuhan hidup berdasarkan 5 kategori ditambah tabungan 10 persen. Kategori itu adalah makanan, tempat tinggal, laptop plus Internet, dan kebutuhan lain. Perhitungan upah layak sudah memperhitungkan inflasi.
Masih beruntung pula jurnalis yang baru mendapatkan gaji ideal Rp. 7,54 juta setelah menghabiskan 5 tahun masa kerja, sebab faktanya masih banyak perusahaan pers yang menggaji karyawannya jauh di bawah itu, bahkan ada yang tidak memberikan gaji, sehingga karyawan (wartawan) harus meminta uang dari nara sumber, malah sebagian lagi memeras narasumber.
Anggota Dewan Pers Muhammad Ridho, pada bulan Maret 2013 silam, pernah mengatakan semakin banyak kekerasan terjadi kepada wartawan, termasuk kekerasan yang paling tidak kelihatan berupa “kekerasan” majikan kepada wartawannya.
Kekerasan yang dimaksud adalah, “Tidak menggaji wartawannya sesuai dengan aturan, banyak yang tidak digaji (sesuai) UMP. Dalam keadaan begitu dia dituntut segala macam, bagaimana bisa menegakan kode etik kalau digaji saja di bawah UMP?” tutur Ridho.
Seperti yang terjadi di Kota Ternate, Maluku Utara. Berdasarkan hasil survei AJI Kota Ternate pada tahun 2014, sebagian besar media di sana menggaji wartawannya masih di kisaran Rp. 500 ribu sampai Rp. 1 juta.
Isu upah layak jurnalis di Indonesia memang menjadi persoalan klasik. Hampir setiap tahun, misalnya setiap peringatan hari buruh sedunia (May Day) pada 1 Mei, isu kesejahteraan ini selalu diusung berbagai elemen jurnalis, tak terkecuali tahun ini. Kenyataannya, isu kesejahteraan itu masih jauh dari kata selesai.
Direktur Eksekutif Serikat Penerbitan Surat Kabar (SPS) Asmono Wikan, mengatakan gaji jurnalis berkorelasi dengan kondisi perusahaan media sendiri. Ada kecenderungannya perusahaan media cetak menahan diri untuk menaikkan gaji jurnalisnya, karena pertumbuhan perekonomian nasional seret.
“Artinya kalau ada perusahaan yang menaikkan gaji karyawan, berarti mereka tidak merasakan tekanan ekonomi makro saat ini,” ujar Asmono, dikutip dari merdeka.com.
Di sisi lain kenaikan riskas atau harga iklan media cetak setiap tahun tidak lebih dari 20 persen. Menurut dia, jarang sekali perusahaan menaikkan harga iklan tahun ini dibanding tahun lalu sampai 25 persen.
“Itu almost impossible, kecuali koran-koran atau surat kabar yang mempunyai posisi kuat di pasar terhadap pengiklan, misalnya Kompas.”
Sementara itu, Divisi Iklan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil Tobing, mengatakan pendapatan iklan televisi masih akan tumbuh sekitar 9 persen tahun ini. Namun demikian, soal kesejahteraan atau gaji jurnalis, dia tidak bisa menjelaskan detail. Sebab, kata dia, gaji jurnalis masuk dalam biaya produksi. Misalnya untuk ongkos produksi televisi berita (news) dan televisi entertainment.
Menurut Neil Tobing, ongkos televisi berita masih lebih murah dibanding televisi entertainment. Televisi news selama ini hanya menyangkut keredaksian, termasuk upah kontributornya. Sementara televisi entertainmen lebih pada biaya untuk rumah produksi (Production House/PH).
“Di kita kan ada arus khas dalam pengelolaan keuangan. Kita ada kisaran arus khas yang harus kita kelola. Jadi kita mengelola khas itu, apakah ongkos produksinya dikurangin atau seperti apa. Tapi sejauh ini biaya produksi masih seperti tahun lalu. Tapi tergantung peristiwa, kalau ada peristiwa besar biasanya ongkos pasti meningkat.”
Namun Eko Widianto, Jurnalis Penyedia Jasa Berita media nasional mengeluhkan alasan perusahaan media menggaji jurnalis rendah akibat faktor ekonomi nasional. Menurut dia alasan itu sekarang seperti menjadi alat pembenar perusahaan media. Bagi dia ini menjadi persoalan baru yang dihadapi para jurnalis, terutama untuk penyedia jasa berita yang dibayar sesuai jumlah berita yang naik.
Di sisi lain, para penyedia jasa berita itu dituntut untuk bekerja secara eksklusif, loyal, militan dan lain-lain. “Waktu ada peristiwa diperintah untuk liputan, tetapi justru dalam sisi hak, upahnya itu rendah. Itu kan berarti tidak berimbang. Kemudian ketika ada kecelakaan, ketika ada persoalan di lapangan, mereka tidak memiliki jaminan sosial,” kata Eko.
Sedangkan Presiden Serikat Pekerja Cipta Kekar TPI (MNCTV) Chandra, mengatakan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional belum bisa dijadikan ukuran bagi perusahaan media untuk tidak meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Dia mencontohkan ekspansi bisnis media sekarang ini. Misalnya yang dilakukan MNC group dan TransTV.
MNC, Chandra memisalkan, selain memiliki sejumlah televisi, juga mengembangkan bisnis koran, majalah, radio dan media online. Begitu juga dengan TransTV yang tengah mengembangkan bisnis online. “Itu kan bukti kalau bisnis di bidang media ini memang sangat menggiurkan. Aku sih melihatnya seperti itu.”
Artinya, kata dia, perusahaan yang mengalami pertumbuhan seharusnya berkorelasi positif dengan kesejahteraan pegawai, termasuk jurnalis. Faktanya, berdasar data-data pendapatan iklan televisi atau media lainnya masih bagus. Yang harus jadi pertimbangan pemilik media adalah, jurnalis digaji itu dengan memperhatikan aspek profesionalitas.
“Masalahnya data berapa persen pendapatan yang dialokasikan untuk jurnalis itu yang tidak jelas,” ujarnya.
Penulis: Yon