Penulis : Eka Maryono
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan telah menandatangani peraturan penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO). Kabarnya, beleid ini menetapkan harga fixed batubara khusus untuk PT PLN (Persero) sebesar US$ 70 per metrik ton.
Besaran DMO itu berlaku hingga 2019 mendatang untuk batubara dengan kalori 6.322 Kcal, jauh di bawah Harga Batubara Acuan (HBA) sebelumnya yang US$ 101,86 per metrik ton. Lalu batubara dengan kalori 4.200 Kcal hingga 5.700 Kcal juga akan mengalami penurunan harga sesuai dengan beleid harga tersebut.
Nantinya, harga jual batubara untuk keperluan PLN mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan mengacu pada DMO yang baru. Artinya, tidak peduli harga batubara sedang naik, PLN tetap membeli batubara dengan harga sesuai DMO yaitu US$ 70 per metrik ton. Sebaliknya jika harga turun, PLN tetap membeli dengan harga HBA tersebut.
Diturunkannya harga fixed batubara dari US$ 101,86 per metrik ton menjadi US$ 70 per metrik ton, dirasa sangat membantu PLN dalam menutupi kerugian akibat tidak adanya kenaikan tarif listrik hingga 2019 yang disertai dengan kenaikan tarif gas maupun BBM. Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Direktur Utama PLN Sofyan Baasyir mengeluhkan harga batubara yang tinggi membuat pihaknya mengalami kerugian Rp 16 triliun sepanjang 2017 kemarin. Ujung-ujungnya, Sofyan meminta agar DMO batubara turun.
Seperti diketahui, PLN merupakan salah satu konsumen terbesar batubara dalam negeri. Sekitar 65% batubara yang diproduksi PT Bukit Asam Tbk (PTBA) digunakan untuk keperluan pembangkit listrik yang dikelola PLN. Nah, dari sini bisa dilihat bila PLN sebagai konsumen cukup diuntungkan dengan penetapan harga terbaru, namun di sisi lain, PTBA selaku produsen berpotensi mengalami kerugian.
Strategi Tambal Sulam Pemerintah
Gali lubang tutup lubang! Kiranya hal itu bisa menggambarkan strategi tambal sulam yang sedang dijalankan pemerintah. Untuk melindungi kepentingan PLN, pemerintah terkesan mengorbankan PTBA.
Pasalnya, beleid ini jelas berdampak negatif terhadap penjualan emiten batubara karena mengharuskan mereka menjual 20%–25% dengan harga DMO, di bawah harga pasar. Hitungan kasarnya, emiten batubara bisa tertekan sampai 10%. Emiten adalah perusahaan publik yang mencari modal dari bursa efek dengan cara menerbitkan surat berharga. Dan bisa dipastikan PTBA merupakan emiten batubara yang paling besar terkena dampaknya.
Pasalnya PTBA banyak memproduksi batubara berkalori rendah, akibatnya PTBA tidak bisa menjual sisa batubara dengan harga tinggi. Berbeda dengan emiten lain yang memproduksi batubara berkalori tinggi, untuk emiten seperti ini, masih bisa mentolerir penurunan DPO batubara karena masih bisa menjual produknya ke luar negeri dengan harga lebih tinggi.
Kecilnya porsi ekspor PTBA dibanding emiten batubara lainnya juga bakal berperan membuat kondisi PTBA makin terpuruk akibat beleid DMO. Satu-satunya cara PTBA menekan margin hanyalah dengan melakukan efisiensi, sesuatu yang jelas terasa kurang menyenangkan.
Dilema Buah Simalakama
‘Bagaikan buah simalakama’ sering dijadikan kiasan untuk menggambarkan sebuah persoalan dilematis. Simalakama adalah sebutan orang Melayu Sumatra untuk buah mahkota dewa yang dikenal beracun tapi pada bersamaan juga memiliki khasiat penyembuhan.
Meski orang Melayu yang mempopulerkan nama buah simalakama, tetapi tanaman ini sebenarnya berasal dari Papua, tak heran bila nama latinnya disebut Phaleriae papuana Warb. Var. Wichannii (Val.) Back. Atau nama ilmiahnya Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl. Sementara nama simplifisanya adalah Phaleriae Fructus. Diduga, nama simalakama diambil dari bahasa Arab ‘malak-ul-maut‘ yang berarti ‘malaikat pencabut nyawa’.
Demikianlah keberadaan PLN di tanah air belakangan ini bagaikan buah simalakama. Dengan kerugian atau kehilangan untung yang konon mencapai triliunan rupiah per tahunnya, perusahaan ini termasuk getol meminta kepada pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik. Jika saja bangsa ini tidak sedang menghadapi tahun politik, kemungkinan besar tarif listrik pasti naik lagi di tahun ini.
Banyaknya konsumen rumah tangga yang harus disubsidi, ditambah mahalnya harga batubara, gas, dan BBM, membuat PLN menjerit. Bayangkan, perusahaan ini harus mengaliri listrik ke 3.660 desa di seluruh Indonesia. Total PLN memerlukan dana Rp 16 trilun per tahun untuk mengalirkan listrik ke desa-desa. Ingat, biaya tersebut baru sebatas untuk desa saja, belum termasuk kota. Bila ditambah kota, beban PLN pun makin membengkak.
Padahal APBN yang dikucurkan untuk PLN masih terbatas jumlahnya. Data tahun 2014, PLN hanya menerima aliran APBN sebesar Rp 4 triliun, masih jauh panggang daripada api.
Kondisi yang dialami PLN jelas tidak sehat. Dari sisi ini, keputusan pemerintah menerapkan DPO terbaru bisa dimaklumi, mengingat di dalamnya menyangkut kepentingan bisnis dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Bila tarif listrik tetap terjaga, maka daya beli masyarakat akan terlindungi, serta imbasnya industri tetap berjalan kompetitif.
Namun kurang tepat bila pemerintah mengorbankan seorang anak demi anak lainnya. Beberapa faktor lain seharusnya menjadi perhatian pemerintah agar keberadaan PLN tak melulu menjadi buah simalakama.
Utamanya, pemerintah bisa melakukan efisiensi di berbagai pos kementerian dan kegiatan lain yang masih menyedot anggaran besar. Sebut saja Pilkada. Total anggaran penyelenggaraan Pilkada serentak 2018 di 171 daerah berpotensi tembus Rp 20 triliun, meski pemerintah telah menyatakan alokasi dana Pilkada sekitar Rp 16 triliun. Pemerintah sendiri menyiapkan Rp 26 triliun untuk Pilkada 2018, maupun Pemilu 2019. Sumber dananya? Tentu saja APBN.
Bayangkan bila pemerintah berani membuat gebrakan dengan menghapus penyelenggaraan Pilkada Serentak dan hanya menyisakan Pilpres? Betapa banyak dana yang bisa dihemat dan dialokasikan untuk menutupi kebutuhan pembiayaan listrik negara ini. Toh, selama ini kita cuma larut dalam euforia pesta demokrasi setelah Reformasi 1998 yang terbukti kurang ada manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat, kecuali cuma jadi ajang ‘bagi-bagi’ kekuasaan di kalangan partai politik.
Bila kepala daerah dapat dipilih berdasarkan penunjukkan langsung dari pusat dan calon kepala daerahnya berasal dari kalangan pegawai negeri berprestasi maupun profesional yang tidak aktif dalam partai politik manapun, maka bukan hanya sekian triliun duit negara bisa dihemat dan dialokasikan ke pos-pos yang lebih membutuhkan setiap tahunnya, tapi juga pasti berdampak pada lebih tertibnya pemerintahan masing-masing daerah. Dan yang pasti, PLN maupun PTBA tidak akan merugi.
Penunjukkan yang didasarkan pada track record masing-masing calon kepala daerah yang diseleksi sangat ketat ini niscaya pula bukan hanya mengurangi beban APBN, tetapi juga mengurangi resiko terjadinya KKN.
Dengan begitu, pemerintah tidak perlu melakukan ‘tambal sulam’ antara PTBA dan PT PLN. Khususnya PLN, tidak perlu lagi menjerit karena merasa buntung akibat kekurangan untung. ***
*) Penulis mantan wartawan desk ekonomi, sosial dan budaya, di Surat Kabar Mingguan (SKM) Inti Jaya dan Harian Suaka Metro. Saat ini menjadi kontributor suaranusantara.com.