Purbalingga – SuaraNusantara
Sebelum membuat sebuah tulisan, terlebih dulu diperlukan sebuah ide. Tapi ide tak melulu muncul begitu saja, terkadang dia harus dicari, bahkan diburu. Untuk urusan ide ini, setiap penulis punya cara masing-masing.
Bagi seorang Thomas Utomo yang akrab disapa Totok, cara terbaik untuk mendapatkan sebuah ide adalah dengan mendayagunakan panca indra. Totok pun berbagi pengalaman dalam hal mencari ide untuk tulisan.
Tidak ada waktu khusus bagi Totok untuk berburu ide. Kapan pun itu, kepalanya bisa sewaktu-waktu menyambar apa saja untuk dikembangkan jadi tulisan. Biasanya, dia mencatat ide yang mendadak terbersit itu agar tidak hilang ditelan kegaduhan kegiatan sehari-hari.
“Pernah ketika saya berangkat ke masjid untuk sholat zuhur, saya melihat seorang perempuan bersandar sambil termangu di pintu monyet (pintu yang daunnya dua buah, di atas dan di bawah) yang hanya dibuka bagian atasnya. Seketika, di benak tergambar sebuah runtutan cerita yang kemudian melahirkan cerpen Marni dan Sebuah Kesempatan. Cerpen itu kemudian dimuat di Radar Banyumas edisi Minggu, 25 Juli 2010. Lalu ketika saya mendengar obrolan gayeng (menyenangkan) sejumlah teman tentang mall yang baru buka dan mereka berencana belanja di sana, saya bisa menulis cerpen Mata yang Selalu Lapar yang dimuat di Satelit Post edisi Minggu, 8 Januari 2017,” kata Totok, di kediamannya, di Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah, Senin (12/3/2018).
Dengan membuka lebar-lebar mata dan telinga, Totok mengaku berhasil menggaet banyak ide untuk bahan tulisan. Misalnya ketika dia merasa begitu geram mendengar kisah sedih penjaja makanan, bahwa suaminya telah memperkosa anaknya sendiri. Dari amarah tersebut, lahirlah cerpen Ayahku Seekor Ular yang dimuat di Satelit Post Minggu, 16 September 2012. Dalam membuat buku, baik fiksi maupun nonfiksi, Totok mengakui bila proses kreativitasnya tidak jauh berbeda.
“Ide cerita selalu berasal dari lingkungan, baik dari hasil pengalaman atau pengamatan. Untuk tokoh, biasanya memiliki kepribadian yang berangkat dari tokoh nyata, baik tokoh tunggal maupun gabungan dari banyak tokoh. Tulisan fiksi saya tidak pernah benar-benar berasal dari imajinasi semata. Untuk nonfiksi, saya selalu menulis hal-hal yang bertalian erat dengan minat saya, misal tentang sejarah, makanan sehat, atau pengalaman mendidik siswa,” tuturnya.
Selalu pula ada pesan yang ingin dia sampaikan kepada pembaca, namun khusus untuk tulisan fiksi atau nonfiksi dengan sasaran orang dewasa, pesan yang disampaikan jarang berupa kesimpulan amanat, tetapi lebih kepada pertanyaan-pertanyaan atau mengajukan gambaran-gambaran terbuka.
“Saya tidak suka tulisan fiksi dan nonfiksi yang mengandung pesan atau nasihat terlalu gamblang. Kesannya menggurui. Untuk cerpen anak, saya mau dan bisa sedikit berkompromi dengan diri sendiri untuk rela hati memasukkan pesan dengan lebih kentara atau secara tersurat. Sebab, pola pikir anak belum kompleks, sehingga membutuhkan kejelasan makna pesan yang terang benderang,” katanya.
Untuk penulisan cerpen, rata-rata Totok membutuhkan waktu satu hari. Untuk buku bisa jadi lebih lama. Buku yang paling cepat penulisannya adalah Misteri Nenek Pemuntah Darah, ditulis dalam waktu dua pekan. Novel yang paling cepat penggarapannya sampai saat ini Cerita dari Asrama Tentara, ditulis dalam kurun satu bulan. Sementara ada naskah novel yang belum kunjung khatam penulisannya meski sudah tiga tahun dikerjakan.
Totok pun harus pandai membagi waktu dengan pekerjaannya sebagai guru. Sebelum berangkat, dia sempatkan diri untuk menulis. Sepulang mengajar, dia kembali menulis.
Setelah menikah dengan Meli Purianti dan dikaruniai seorang putra yang kini berusia 2,6 tahun, Totok lebih sering menulis lewat tengah malam, saat anak dan istri sudah tidur, dan suasana benar-benar sunyi. Tapi sebagai manusia, ada kalanya Totok digelayuti rasa malas. Itulah kendala terbesar yang selalu berusaha dia lawan.
“Rasa malas, rasa sok sibuk, manajemen waktu yang tidak rapi, rasa tidak percaya pada kemampuan diri sendiri, itu kendala terbesar saya,” tutur pria yang gemar menggambar dan jalan-jalan di tepi sungai atau sawah ini.
Ketika ditanyakan mana di antara karyanya yang paling dia suka, Totok mengaku menyukai semua karyanya, dengan kesadaran akan kenyataan bahwa saat mengandung ide dan pergulatan untuk melahirkannya itu tidak mudah. Belum lagi proses menentukan media sebagai tempat publikasi.
“Tiap karya saya memiliki nilai kenangan yang tidak sama. Masing-masing punya nilai perjuangan dan kekhasan yang berbeda. Ibarat seorang bapak, semua karya saya adalah anak-anak spiritual yang sama-sama layak disayang dan dirawat baik-baik. Meski begitu, sampai saat ini, selalu ada perasaan kalau tulisan saya belum bagus. Tapi yang cukup menghibur hati, saya dapat menganggap tulisan saya sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu,” ujarnya.
Sebaliknya, penggemar buah karya NH Dini dan Helvy Tiana Rosa ini menegaskan seburuk-buruknya karya yang dia hasilkan, merupakan cerminan kepribadian dan perjuangannya dalam kurun waktu tertentu, sehingga tidak ada alasan bagi dirinya untuk tidak menyukai karyanya sendiri. “Ini bisa menjadi pembanding dengan karya di masa mendatang. Apa bisa lebih baik, sama saja, atau malah mundur?” katanya.
Saat ini, Totok sedang menulis novel bertemakan pasutri dengan tokoh utama seorang suami penyuka sesama jenis, sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata, tapi tentu bukan pengalaman pribadinya. “Sudah tiga tahun saya mengerjakan novel ini. Sebetulnya lima bulan setelah mulai ditulis, novel ini sudah kelar. Namun saya tidak puas hingga menulisnya berulang-ulang dengan mengubah banyak bagian,” katanya.
Di akhir perbincangan, Totok memberi dorongan untuk penulis pemula agar banyak membaca dan intens berlatih. “Selalu mengupayakan diri berada dalam iklim yang bersinggungan dengan dunia tulis-menulis. Misalnya dengan ikut reriungan bersama komunitas menulis atau berteman dengan para penulis, baik lewat dunia nyata atau dunia media sosial,” tandasnya. (eka)