Suaranusantara.com – Hubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah menjadi salah satu dinamika politik yang paling mencolok dalam sejarah politik Indonesia.
Hubungan ini, yang semula erat dan saling mendukung, akhirnya berakhir dengan keretakan serius. Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, secara tegas menyatakan bahwa Jokowi dan keluarganya tidak lagi menjadi bagian dari partai tersebut. Pernyataan ini sekaligus menandai akhir dari perjalanan politik dua dekade antara Jokowi dan PDIP.
Awal Karier Politik Jokowi Bersama PDIP
Jokowi memulai karier politiknya di bawah naungan PDIP pada 2005, ketika ia diusung menjadi Wali Kota Solo.
Dukungan PDIP mengantarkannya pada kemenangan selama dua periode di Solo. Keberhasilannya di kota itu menjadi batu loncatan untuk maju sebagai calon Gubernur Jakarta pada 2012, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). PDIP, saat itu bersama Partai Gerindra, mendukung Jokowi sebagai calon oposisi.
Hanya dua tahun kemudian, Jokowi diusung oleh PDIP sebagai calon presiden pada Pemilu 2014. Dipasangkan dengan Jusuf Kalla (JK), Jokowi berhasil memenangkan pertarungan sengit melawan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Kemenangan ini tidak hanya menunjukkan kekuatan mesin politik PDIP tetapi juga efek elektoral Jokowi, yang dikenal dengan “Jokowi Effect”.
Dukungan PDIP pada Pilpres 2019
Pada Pilpres 2019, Jokowi kembali maju, kali ini dengan Ma’ruf Amin sebagai pasangan cawapresnya. PDIP tetap menjadi pengusung utama, sementara Jokowi juga didukung oleh koalisi besar termasuk Golkar, NasDem, dan PKB.
Kontestasi politik saat itu diwarnai isu-isu politik identitas, yang memanas akibat Pilkada Jakarta 2017. Meski demikian, Jokowi berhasil mempertahankan kursinya, meski diwarnai kerusuhan pasca-pemilu.
Retaknya Hubungan Menjelang Pilpres 2024
Kerenggangan hubungan Jokowi dan PDIP mulai terlihat menjelang Pemilu 2024. Skenario duet Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, yang sempat diusulkan beberapa pihak, tidak terwujud.
PDIP memilih mencalonkan Ganjar sebagai capres, sementara di sisi lain, Jokowi mendukung anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres untuk Prabowo.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan Gibran maju meskipun usianya belum mencapai batas minimum membuka jalan bagi langkah politik ini.
Dukungan Jokowi terhadap deklarasi Gibran sebagai cawapres Prabowo menjadi titik kritis yang memperuncing hubungan dengan PDIP.
Pilpres 2024 dan Akhir Koalisi
Pasangan Prabowo-Gibran akhirnya memenangkan Pilpres 2024. Setelah kemenangan ini, upaya untuk merekonsiliasi hubungan Jokowi dan PDIP tidak berhasil.
Konflik justru semakin memanas, terutama menjelang Pilkada 2024. Jokowi secara terang-terangan mendukung calon-calon yang berlawanan dengan PDIP, seperti Ahmad Luthfi dan Taj Yasin di Jawa Tengah serta Ridwan Kamil di Jakarta.
Langkah Jokowi yang berseberangan dengan PDIP bahkan melibatkan kolaborasi dengan partai-partai seperti PKS dan kelompok FPI, yang sebelumnya dikenal sebagai oposisi PDIP.
Sebaliknya, PDIP justru menghadapi “serangan” politik dari hampir seluruh partai parlemen yang didukung oleh Jokowi dan Prabowo.
Discussion about this post