Suaranusantara.com- Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dalam kajian Hukum Islam maupun Hukum Nasional di Indonesia dapat dilihat dari tiga segi yaitu, segi Hukum, Sosial, dan Ibadah. Apabila ketiga sudut pandang tersebut telah tercakup semuanya, maka tujuan pernikahan sebagaimana yang diimpikan oleh syariat Islam akan tercapai yaitu, keluarga yang sakinah, mawaddah wa rah}mah.
Ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, apabila salah satunya terabaikan maka akan terjadi ketimpangan dalam pernikahan sehingga tujuan dari pernikahan tersebut tidak akan tercapai dengan baik.
Pernikahan dalam Islam memiliki syarat dan rukun, yang apabila telah terpenuhi maka hukum pernikahan tersebut menjadi sah. Hal ini berbeda dengan pandangan peraturan pernikahan di Indonesia yang menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang, maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum
Hukum di Indonesia mengatur tata cara pernikahan yang sah menurut Agama Islam dan sah menurut Hukum Negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap pernikahan harus dicatat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku”.Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam bab 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang intinya: Sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum dihadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat” Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam bab 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang intinya: Sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum dihadapan undang- undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat”. Sedangkan berdasarkan konsep Konvensional pernikahan dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan.
Menurut Madhab Syafi’i yang termasuk dalam rukun pernikahan adalah akad ijab kabul, calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi dan wali. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan juga menyebutkan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya.
Nikah Siri Menurut Hukum Islam
1. Nikah
nikah menurut bahasa ialah berkumpul; bersenggama (wat}’u). Sedang menurut istilah adalah suatu perjanjian atau akad yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata nikah atau yang menunjukkan arti nikah. Kata zawa>j pada awal penggunaannya berartikan pasangan, akan tetapi arti yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah perkahwinan.
Allah swt. menjadikan manusia berpasangpasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina. Nikah menurut syariat selain diartikan sebagai akad juga diartikan sebagai hubungan badan dan itu hanya metafora saja.
2. Kata siri
berasal dari bahasa Arab yaitu sirri yang artinya adalah rahasia. Namun apabila digabungkan antara kata nikah dan kata sirri maka dapat diartikan secara bahasa dengan nikah diam-diam yang dirahasiakan yakni tidak ditampakkan.
3. Pernikahan siri perspektif islam
Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirri yang artinya adalah rahasia. Namun apabila digabungkan antara kata nikah dan kata sirri maka dapat diartikan secara bahasa dengan nikah diam-diam yang dirahasiakan yakni tidak ditampakkan.
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama memandang pernikahan seperti ini sah akan tetapi hukumnya adalah makruh. Hukumnya sah dan resmi menurut agama karena sudah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta adanya dua saksi sehingga unsur kerahasiaannya hilang.
Sebab suatu perkara yang rahasia, jika telah dihadiri oleh dua orang atau lebih, maka tidak lagi disebut dengan rahasia. Adapun sisi kemakruhannya adalah disebabkan adanya perintah Rasulullah saw., untuk melakukan mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas.
Sedangkan kalangan ulama Malikiyyah menilai pernikahan yang seperti ini tidak sah, karena maksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sahnya pernikahan. Pendapat yang rajih (kuat), nikah ini sah, karena syaratsyarat dan rukunnya telah terpenuhi, walaupun tidak diberitahukan kepada khalayak.
Sebabkehadiran wali dan dua saksi telah merubah sifat kerahasiaan menjadi sesuatu yang diketahui oleh umum. Semakin banyak yang mengetahui, maka semakin baik. Oleh karena itu, dimakruhkan merahasiakan pernikahan agar supaya pasangan itu tidak mendapatkan gunjingan dan tuduhan tidak sedap, ataupun persangkaan- persangkaan yang buruk dari orang lain.
Nikah Siri Perspektif Hukum Positif
Berdasarkan sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia bahwa Nikah Siri merupakan pernikahan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sebagaimana dipahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Jo.
Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang9. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundangundangan, Nikah Siri tergolong pernikahan yang ilegal dan tidak sah.
Ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif bagi kalangan umat Islam Indonesia yang menjadikan pernikahan mereka sah menurut hukum positif, yaitu:
1. Pernikahan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan
2. Setiap pernikahan harus dicatat.
Pencatatan pernikahan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai Undang-Undang U Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan pernikahan menjadi batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternatif, maka pernikahan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA.
Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu pernikahan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemik berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas.
Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas yang disertai sanksi bagi yang melanggarnya.
Ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif bagi kalangan umat Islam Indonesia yang menjadikan pernikahan mereka sah menurut hukum positif, yaitu:
1. Pernikahan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan
2. Setiap pernikahan harus dicatat.
Pencatatan pernikahan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai Undang-Undang U Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan pernikahan menjadi batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternatif, maka pernikahan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA.
Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu pernikahan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemik berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas yang disertai sanksi bagi yang melanggarnya.
Hukum Islam tidak ditetapkan hanya untuk seseorang individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama Ahli Kitab maupun kaum penyembah berhala (paganis).
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Nikah Siri
Nikah Siri dilakukan pada umumnya karena ada sesuatu yang dirahasiakan, atau karena mengandung suatu masalah. Oleh karena Nikah Siri mengandung masalah, maka masalah itu akan berakibat menimpa pada orang yang bersangkutan, termasuk anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan siri.
Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya Nikah Siri adalah sebagai berikut:
1. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi diantaranya karena biaya administrasi pencatatan nikah, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.
Ada keluhan dari masyarakat bahwa biaya pencatatan pernikahan di KUA tidak transparan, berapa biaya sesungguhnya secara normatif. Oleh karena dalam praktik masyarakat yang melakukan pernikahan di kenai biaya yang beragam.
Adanya kebiasaan yang terjadi di masyarakat, bahwa seorang mempelai laki-laki selain ada kewajiban membayar mahar, juga harus menanggung biaya pesta perkawinan yang cukup besar (meskipun hal ini terjadi menurut adat kebiasaan), di daerah Jawa Tengah selain mahar ada juga biaya untuk serah-serahan (pemberian biaya untuk penyelenggaraan pernikahan).
Alasan ini pula yang menjadi penyebab laki-laki yang ekonominya belum mapan lebih memilih menikah dengan cara diam-diam, yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta seperti umumnya pernikahan.
2. Faktor belum cukup umur
Nikah Siri dilakukan karena adanya salah satu calon mempelai belum cukup umur. Kasus ini terjadi disebabkan alasan ekonomi juga, dimana orang tua merasa kalau anak perempuannya sudah menikah, maka beban keluarga secara ekonomi menjadi berkurang, karena anak perempuannya sudah ada yang menanggung biaya hidupnya yaitu suaminya.
Salah satu contoh kasus yang ramai terjadi adalah kasus Nikah Sirinya Syekh Puji (Pujiono) dengan Ulfah yang masih anak-anak di Kabupaten Semarang.
3. Faktor ikatan dinas/kerja atau sekolah
Adanya ikatan dinas/kerja atau peraturan sekolah yang tidak membolehkan menikah karena dia bekerja selama waktu tertentu sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati, atau karena masih sekolah maka tidak boleh menikah dulu sampai lulus. Kalau kemudian menikah, maka akan dikeluarkan dari tempat kerja atau sekolah, karena dianggap sudah melanggar aturan.
*) Penulis : Swartini Zagoto (Mahasiswa Fakultas Hukum – Universitas Pamulang)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Suaranusantara.com
***
**) Laporan atau taging Laporan di Suaranusantara terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: hi@suaranusantara.com atau Suaranusantaradotcom@gmail.com
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Suara Nusantara.
Discussion about this post