Suaranusantara.com- Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) pada triwulan I-2025 tetap terjaga di tengah
meningkatnya ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global. Ketidakpastian
tersebut terutama dipicu oleh dinamika terkait kebijakan tarif Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan
eskalasi perang dagang.
Memasuki awal triwulan II-2025, downside risk global terpantau masih tinggi, sehingga perlu terus dicermati dan diantisipasi ke depan.
KSSK yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan(OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menyelenggarakan rapat berkala KSSK II tahun 2025 pada Kamis, 17 April 2025.
Rapat tersebut menyepakati untuk terus meningkatkan kewaspadaan serta memperkuat koordinasi dan kebijakan lembaga-lembaga anggota KSSK, dalam upaya memitigasi potensi dampak rambatan faktor-faktor risiko global sekaligus memperkuat perekonomian dan sektor keuangan dalam negeri.
Pada triwulan I-2025, ketidakpastian perekonomian global meningkat didorong oleh kebijakan tarif impor Pemerintah AS. Kebijakan tersebut menimbulkan adanya perang tarif dan diprakirakan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi AS, Tiongkok, dan ekonomi global serta memicu peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Selain itu, kebijakan tersebut juga mendorong perilaku risk aversion pemilik modal serta menyebabkan penurunan yield US Treasury dan pelemahan indeks mata uang dolar AS (DXY) di tengah peningkatan ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR).
Aliran modal dunia bergeser dari AS ke negara dan aset yang dianggap aman (safe haven asset), terutama ke aset keuangan di Eropa dan Jepang serta komoditas emas.
Sementara itu, aliran keluar modal dari negara berkembang masih berlanjut sehingga memberikan tekanan terhadap pelemahan mata uangnya. Dalam World Economic Outlook (WEO) April 2025, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke level 2,8% pada 2025 dan 3,0% pada 2026. Angka ini turun masing-masing 0,5 percentage points (pp) dan 0,3 pp dibandingkan proyeksi Januari 2025.
Penurunan proyeksi dipicu oleh dampak langsung eskalasi perang tarif serta dampak tidak langsung melalui disrupsi rantai pasok, ketidakpastian yang meningkat, dan memburuknya sentimen.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia turut direvisi ke 4,7% (-0,4 pp) untuk 2025, namun penurunan tersebut tergolong moderat dibandingkan negara lain seperti Thailand (-1,1 pp), Vietnam (-0,9 pp), Filipina (-0,6 pp), dan Meksiko (-1,7 pp).
Pemburukan dampak perang tarif semakin dirasakan dengan langkah Tiongkok melakukan
retaliasi, meskipun lebih banyak negara merespons melalui jalur diplomatik/negosiasi. Langkah retaliasi semakin merenggangkan hubungan dagang kedua negara. Akibatnya, kedua
negara tersebut sudah meningkatkan tarif hingga di atas 100%.
Kebijakan ini menambah risiko kenaikan inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi AS. Perkembangan selanjutnya, AS menunda tarif resiprokal selama 90 hari bagi negara-negara non-retaliasi, namun tetap
menerapkan tarif dasar universal sebesar 10%.
Di sisi lain, pada triwulan I-2025, ekonomi Tiongkok masih tumbuh dengan baik, bahkan lebih baik dari prakiraan. Ke depan, ekonomi negara tersebut diprakirakan akan terdampak ketegangan perdagangan yang terjadi. Berdasarkan perkembangan tersebut, Indonesia akan senantiasa waspada dalam menghadapi dinamika
global ini.
Pemerintah aktif melakukan mitigasi awal melalui negosiasi dengan AS, terutama melanjutkan deregulasi hambatan non-tarif melalui kolaborasi dengan seluruh K/L.
Selain itu, dengan permintaan domestik yang relatif terjaga didukung oleh kebijakan fiskal dan moneter yang selaras, Indonesia diprakirakan dapat mengendalikan dampak negatif ketidakpastian global, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan memelihara momentum pertumbuhan ekonomi. Ke depan, ekonomi Indonesia berpeluang untuk terus tumbuh secara berkesinambungan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 diprakirakan tetap positif di tengah
ketidapastian global. Konsumsi rumah tangga tetap baik didukung belanja Pemerintah terkait
pemberian Tunjangan Hari Raya (THR), belanja sosial, dan berbagai insentif lainnya, serta
peningkatan musiman permintaan selama perayaan Idulfitri 1446 H.
Discussion about this post