SuaraNusantara.com-Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan sejumlah aturan untuk memperketat gempuran barang impor di dalam negeri.
Dalam media briefing di kantor Kementerian keuangan, Kamis (12/10) Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan, pihaknya telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 31 tahun 2023 terkait Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Adapun salah satu poin utama dari aturan tersebut adalah, pemerintah resmi melarang barang impor di bawah USD100 dijual melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) alias e-commerce.
“Harga-harga barang (impor) di bawah USD100 kita batasi tidak boleh dijual di platform digital. Ini barang-barang langsung, barang asal luar negeri yang langsung dijual melalui platform digital cross border sehingga kita berharap barang-barang impor yang dijual di e-commerce tentunya barang yang sudah masuk melalui mekanisme importasi umum sehingga sudah dikenakan segala macam pembiayaan dan sebagainya, sehingga ketika dijual di dalam pasar luar negeri, harganya bisa bersaing dengan harga barang-barang lokal,” ungkap Rifan.
Meski begitu, pihaknya tengah menyusun sepuluh produk impor yang masih boleh dijual di e-commerce, alias positive list, yang ditargetkan rampung bulan ini. Meski belum merinci produk-produknya, namun Rifan memastikan barang yang akan masuk dalam daftar itu merupakan barang yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri dan juga bukan termasuk produk yang bisa dihasilkan oleh para pelaku UMKM.
Dalam kesempatan ini Rifan juga menjawab seruan para pelaku UMKM kepada pemerintah untuk menutup semua platform e-commerce akibat sepinya pembeli dalam beberapa waktu terakhir ini. Rifan menegaskan, pemerintah tidak akan menutup e-commerce yang ada.
“Kita terus mendorong bahwa sebenarnya pemanfaatan teknologi adalah suatu hal yang memang harus dilakukan, karena memang tidak hanya market lokal yang bisa diharapkan. Tapi kita juga terus mendorong pemanfaatan teknologi bisa mendorong peningkatan akses pasar dari pelaku UMKM dari sisi nasional bahkan masuk ke pasar internasional. Jadi kita dari pemerintah tidak akan menutup e-commerce karena itu sesuatu hal yang memang sarana perdagangan yang bisa dimanfaatkan oleh para pelaku usaha. Hanya pemerintah mengatur penyelenggaraan e-commerce sehingga semuanya berjalan sinergi,” tambahnya.
Delapan Produk Impor e-Commerce Akan Dikenai Tarif Bea Masuk Umum
Dalam kesempatan yang sama Direktur Teknis Kepabeanan Fadjar Donny mengatakan pihaknya juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 96 tahun 2023 tentang ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Impor dan Ekspor untuk Barang Kiriman yang akan berlaku pada 17 Oktober mendatang.
Salah satu yang diatur dalam beleid ini adalah akan ada delapan produk impor di e-commerce yang akan dikenakan tarif bea masuk umum (most favourable nations/MFN).
Ia menjelaskan, penerbitan PMK nomor 96 tahun 2023 ini adalah untuk mencabut PMK sebelumnya yakni PMK 199 tahun 2019 yang sudah mengatur pungutan tarif bea masuk umum (most favourable nations/MFN) untuk empat komoditas sebelumnya yakni buku sebesar 0 persen, tas 15 persen-20 persen, produk tekstil 5 persen-25 persen, dan alas kaki atau sepatu 5 persen-30 persen.
“Dengan adanya PMK Nomor 96 ini, ada empat komoditas yang dilakukan penambahan dan dikenakan MFN. Kenapa kita perlu menambah empat item ini? Karena kami melihat berdasarkan transaksi perdagangan melalui barang kiriman ini, khususnya misalkan komestik, impor komestik sangat tinggi sekali melalui barang kiriman,” ungkap Fadjar.
“Kami juga melihat sepeda dan jam tangan, berdasarkan statistik juga komoditas impor barang kiriman yang tinggi jumlahnya karena tren masyarakat kecenderungan sekarang bersepeda dan membeli jam tangan. Sepeda dimasukkan sesuai HS code dan pembebanan tarifnya 25 persen-40 persen, 40 persen untuk sepeda listrik. Sisanya sesuai HS code,” imbuhnya.
Untuk jam tangan dikenakan tarif MFN 10 persen, kosmetik 10-15 persen, dan besi baja 0-20 persen. Tarif MFN dipungut DJBC di luar bea masuk flat 7,5 persen dan pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen yang berlaku untuk semua barang.
Pengetatan Aturan Impor Hanya Solusi Jangka Pendek
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai pengetatan aturan terkait produk impor memang diperlukan. Namun, solusi tersebut hanya bersifat jangka pendek.
“Catatannya adalah satu, apakah kita mau berlindung atau mengandalkan proteksi terus menerus? Tidak bisa. Tidak cukup hanya dengan larang ini, larang itu saja, memang dalam jangka pendek dibutuhkan,” ungkap Faisal.
Menurutnya, dalam jangka panjang pemerintah harus senantiasa meningkatkan capacity building daripada UMKM itu sendiri. Dengan begitu, produk-produk yang dihasilkan bisa bersaing dengan produk impor.
“Jadi program yang komprehensif untuk capacity building dari UMKM itu harus diteruskan dan itu tidak cuma satu atau dua program, harus dari hulu sampai ke hilir,” tambahnya.
Ia menjelaskan, selama ini produk-produk UMKM kurang bisa bersaing dengan produk impor yang membanjiri tanah air. Dari sisi harga, kata Faisal dengan produk yang serupa, barang impor selalu jauh lebih murah daripada produk yang dihasilkan oleh para UMKM.
Faisal mencontohkan pelaku usaha di China diberikan insentif oleh pemerintahnya sendiri mulai dari hulu sampai hilir. Dengan begitu, produknya memiliki daya saing yang cukup tinggi.
“Biaya produkainya murah, ongkos logistiknya murah, biaya energi murah, ditambah lagi akses pasar difasilitasi oleh pemerintah dengan macam-macam tax insentif. Jadi berlapis sebenarnya insentif yang diberikan oleh pemerintahnya yang juga semestinya harus dilakukan oleh pemerintah kita, kalau memang ingin memprioritaskan industri dalam negeri terutama industri kecil,” katanya.
“Ok ada pembiayaan untuk UMKM seperti KUR. Tapi bagaimana pendampingan dari sisi teknis, dan dari sisi akses terhadap pasar? Itu tidak diberikan secara komprehensif sebagaimana yang dilakukan oleh China. Jadi ada memang bantuan terhadap UMKM, tapi parsial dan tidak terhubung satu sama lain. Sehingga akhirnya produk yang dihasilkan sebetulnya tidak bisa bersaing, tetap relatif lebih mahal,” pungkasnya.
Discussion about this post