Jakarta-SuaraNusantara
Dua belas putra/putri terbaik Nias dikabarkan bakal berebut suara untuk maju sebagai calon wakil rakyat di DPR-RI. Seberapa besar peluang mereka untuk meraih kursi sebagai senator?
Kepulauan Nias masuk dalam Dapil 2 Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Bagi politisi asal Nias, boleh dibilang Dapil 2 ini merupakan ‘Grup Neraka’, karena mereka harus bersaing ketat dengan calon-calon senator lain dari seluruh kota/kabupaten se-Sumut.
Pada periode 2014-2019 silam, perolehan suara beberapa calon legislatif (caleg) asal Kepulauan Nias berada di bawah beberapa caleg dari daratan Sumatera Utara. Suasana Dachi tercatat sebagai satu-satunya caleg asal Kepulauan Nias yang lolos ke DPR RI melalui Partai Gerindra.
Kali ini, persaingan ketat dipastikan bakal kembali terjadi, bukan hanya dengan sesama caleg dari Nias, tapi terutama dengan caleg-caleg Sumatera Utara lainnya, seperti dari Labuhan Batu, Padang Lawas, Padang Lawas Utara (Paluta), Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan, Mandailing Natal (Madina), Toba Samosir (Tobasa), Sibolga, dan sebagainya.
Keduabelas caleg yang dikabarkan akan mewakili Pulau Nias melalui Dapil 2 Sumut tersebut adalah Benni Advis Daely, Bazatogu Hia, Mayjen Purn. Christian Zebua, Idealisman Dachi, Turunan Gulo, Firman Jaya Daely, Martinus Lase, Edward Zega, Ali Yusran Gea, Amaliha Lase, Dermawati Harefa, dan Ilham Mendrofa.
Praktis, keduabelas sosok tersebut relatif dikenal oleh masyarakat Nias, termasuk yang berada di perantauan. Misalnya Mayjen (Purn) Christian Zebua yang setelah pensiun dari dinas ketentaraan kemudian aktif sebagai Ketua Umum Badan Persiapan Pembentukan Provinsi Kepulauan Nias (BPP-PKN) kerap bolak-balik dari Jakarta ke Pulau Nias.
Contoh lainnya Firman Jaya Daely. Meski bermukim di Jakarta, namun nama politisi PDI-P ini tak asing di telinga masyarakat Nias. Selain pernah menjadi anggota DPR RI, pria flamboyan yang ikut merumuskan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini diketahui juga sering ‘pulang kampung’ untuk menghadiri berbagai acara yang melibatkan masyarakat di tanah kelahiran.
Beberapa nama lainnya juga bukan pendatang baru. Bazatogu Hia, Dermawati Harefa, dan Turunan Gulo, pada periode 2014 silam sudah pernah meramaikan arena pertarungan menuju Gedung Parlemen. Sementara Edwan Zega, namanya tentu tak asing di telinga warga Nias Utara, karena dia pernah menjabat sebagai bupati di sana.
Dari keduabelas nama yang digadang-gadang bakal maju sebagai caleg tadi, bukan mustahil semuanya bakal maju sebagai calon wakil rakyat periode 2019-2014, namun bisa juga tidak. Sebab memang belum ada kepastian resmi bahwa mereka pasti akan mencalonkan diri.
Benni Advis Daely, ketika dikonfirmasi SuaraNusantara, hanya memberi jawaban singkat, “Kita persiapkan saja dulu,” katanya. Jawaban yang ambigu ini tentu memberi kesan ‘bisa maju, bisa juga tidak’. Namun menilik kalimat ‘persiapkan’, kemungkinan besar yang bersangkutan memang benar akan maju sebagai caleg di pesta demokrasi mendatang.
Sebenarnya, semua putra/putri Nias yang maju sebagai caleg patut mendapat perhatian dan dukungan kita. Apalagi mengingat wakil-wakil rakyat yang duduk di DPRD Provinsi maupun DPR RI asal Pulau Nias masih sangat minim jumlahnya. Bagaimana mungkin mereka memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Pulau Nias, bila belum apa-apa sudah kalah jumlah suara?
Namun pada saat bersamaan, mereka juga harus memiliki visi misi dan konsep yang jelas dan layak, terutama apa yang benar-benar akan mereka lakukan dengan posisinya sebagai wakil rakyat kelak demi membangun masyarakat. Bukan hanya masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tetapi juga masyarakat Nias tempat mereka bermula.
Sebagai wakil rakyat di DPR, memang tidak sepatutnya bila mereka dituntut hanya memikirkan kepentingan masyarakat Nias, sebab senator DPR milik seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya Pulau Nias. Tapi setidaknya dengan komitmen yang jelas untuk tidak melupakan masyarakat yang telah memilih mereka di Dapil masing-masing, setidaknya mereka sudah membuktikan bahwa mereka bukan termasuk golongan penyuka ‘kacang lupa kulitnya’.
Sementara menyoal peluang keduabelas nama tersebut, berkaca pada pesta demokrasi sebelumnya, sepertinya terbilang berat. Dari 30 nama yang lolos sebagai Anggota DPR RI asal Provinsi Sumut yang ditetapkan KPU RI dalam pemilihan legislatif tahun 2014, hanya ada satu nama asal Kepulauan Nias.
Soal kemampuan, tokoh-tokoh Nias tidak kalah dengan tokoh asal daerah lain. Tapi potensi kecurangan bukan mustahil terjadi lagi. Tahun 2014 silam, saat pemilihan legislatif di Pulau Nias, jumlah perolehan suara beberapa caleg yang berasal dari daratan Sumatera Utara dan namanya jelas-jelas tidak dikenal oleh masyarakat Nias, justru melampaui perolehan suara caleg Nias.
“Kami ada tiga orang caleg yang putra daerah justru suaranya lebih rendah dari orang seberang. Suara kita dialihkan demi uang,” kata salah satu caleg, Yasonna H. Laoly. Ketika itu, Yasonna menduga ada pengalihan suara ke caleg tertentu yang bukan berasal dari Pulau Nias.
Dugaan kecurangan massif memang sempat terjadi di Kabupaten Nias Selatan. Kecurangan itu pun sempat diberitakan oleh media-media nasional. Bahkan penghitungan suara di tingkat pusat sempat terhambat akibat kecurangan tersebut.
Sedangkan untuk masalah penghitungan perolehan kursi DPR, kemungkinan besar metode penghitungan suara untuk konversi kursi partai politik pada Pemilu 2019 akan mengalami perubahan. Pemilihan umum untuk Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2019 tidak lagi menggunakan bilangan pembagi pemilih (BPP) seperti pada Pemilu 2014.
“Bagi partai politik peserta pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 4% dari total suara sah secara nasional, baru menerapkan metode konversi suara sainte lague, kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Semarang, Minggu (23/7/2017) silam.
Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR nantinya, suara sah akan dibagi dengan bilangan pembagi dengan pecahan 1,4 dan diikuti secara berurut oleh bilangan ganjil 3, 5, 7, dan seterusnya.
Dengan metode penghitungan yang baru ini, suara PDI Perjuangan yang pada Pemilu 2014 meraih 109 kursi DPR dengan 23.673.018 suara (18,95%) akan bertambah menjadi 110 suara bila menerapkan metode tersebut.
Juga Partai Golkar bakal bertambah menjadi 95 kursi dari 91 kursi dengan 18.424.715 suara (14,75%); Partai Demokrat 61 kursi dengan 12.724.509 suara (10,18%) menjadi 62 kursi. Lalu Partai Hanura dari 16 kursi meraih 6.575.391 suara (5,26%) menjadi 17 kursi.
Sebaliknya, Partai Gerindra yang meraih 14.750.043 suara (11,81%) jumlah kursinya berkurang dua, yakni dari 73 menjadi 71 kursi. Hanya Partai NasDem yang pada Pemilu 2014 meraih 8.412.949 suara (6,73%) tidak bertambah maupun berkurang, atau tetap 36 kursi DPR bila menggunakan teknik penghitungan ini.
Dilihat dari kacamata awam, penambahan kursi untuk PDIP, Golkar dan Hanura sepertinya akan membuka peluang lebih besar bagi caleg Nias yang maju lewat partai-partai tersebut. Sebaliknya pengurangan kursi untuk Gerindra otomatis akan memperkecil peluang. Benarkah seperti itu?
Penulis: Rio