Jakarta-SuaraNusantara
Tak terurus dan semrawut adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi lingkungan sekitar batu megalit Duada Ho yang berada di Desa Lahemo, Kecamatan Gido, Kabupaten Nias. Prihatin dengan kondisi tersebut, beberapa tokoh masyarakat dari empat desa, yakni Desa Lahemo, Desa Nifalo’o Lauru, Desa Loloana’a Gido dan Desa Akhelauwe, menggelar pertemuan di Oma Bale Objek Wisata Duada Ho, Minggu, (29/01/2017). Tujuan dari pertemuan tersebut untuk merencanakan pengembangan objek wisata batu megalit tersebut.
Menurut Amolisi Gulo Kepala Desa Akhelauwe yang juga terpilih sebagai Ketua Tim Persiapan Pengembangan Potensi Objek Wisata Batu Megalit Duada Ho, dirasa perlu meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar untuk pengembangan objek wisata tersebut, mengingat selama bertahun-tahun lokasi Batu Megalit Duada Ho terbengkalai begitu saja.
“Memang ada upaya pemugaran lokasi Gowe Duada Ho ini melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Nias, namun upaya tersebut tidak disertai dengan pemeliharaan yang berkelanjutan. Sehingga dibutuhkan komitmen kuat dari masyarakat sekitar melalui sebuah wadah agar pengembangan potensi wisata batu megalit Duada Ho ini dapat menarik perhatian Wisatawan dalam dan luar Negeri” Kata Amolisi.
Yulius Waruwu, salah seorang tokoh pemuda di Desa Lahemo, mengapresiasi langkah yang diambil masyarakat Desa Lahemo dan sekitarnya dalam hal menggali potensi sekaligus mengangkat keberadaan batu megalit yang merupakan bukti sejarah peradaban moyang beberapa marga di Kecamatan Gido dan sekitarnya.
Sesuai cerita yang berkembang di masyarakat, situs batu megalit Duada Ho merupakan peninggalan dari Keluarga Duada Ho (yang berasal dari Gomo) yang memiliki dua orang istri, yang pertama adalah Aweda Nandrua yang memiliki anak bernama Waruwu, Halawa, Gulö dan Ndraha. Serta dari istri keduanya, Sa’uso Lama memiliki putra yaitu Tumba Laoya yang anaknya adalah Lukhu Toli, Lukhu Mbanua Lukhu Hada, Lukhu Bongi, Lukhu Zendratö, Lukhu Baene dan Lukhu Lase sementara Lukhu Fakhe dan Lukhu Manu tidak memiliki keturunan.
Di antara kumpulan batu-batu megalit tersebut juga terdapat beberapa batu dengan bentuk unik, yaitu batu megalit Saita Gari Tuada Ho (tempat sangkutan pedang Tuada Ho), berukuran cukup besar dan terdiri dari dua buah lempengan batu yang persis sama dengan celah di antaranya (di celah inilah Tuada Ho menyangkutkan pedangnya yang cukup besar), lalu ada juga batu besar di tanah yang di atasnya terdapat bekas/jejak telapak kaki Tuada Ho.
Lokasi situs bersejarah ini berada ± 32 Km dari Kota Gunungsitoli dan dapat di tempuh sekitar setengah jam dari Bandar Udara Binaka dan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.
Hadir pada pertemuan tersebut Kepala Desa Akhelauwe, Nifalo’o Lauru, Sekdes Loloana’a Gido dan Ketua BPD Lehemo serta penatua adat dan tokoh masyarakat desa Lahemo dan sekitarnya. (Berkati Ndraha)