SuaraNusantara.com- Masyarakat kini mulai bereaksi atas kebijakan pemerintah yang akan menerapkan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Masyarakat marah, lantaran Tapera hadir di saat ekonomi sulit, harga-harga melambung tinggi.
Terlebih, masyarakat kink sudah banyak iuran wajib yanh dibayarkan tiap bulan, dengan hadirnya Tapera maka dinilai sebagai menambah beban baru
Iuran Tapera tiap bulan dibayarkan melalui pemotongan gaji atau upah pekerja sebesar 2,5 persen dan 0,5 persen oleh pemberi kerja setiap bulan.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pun angkat bicara soal Tapera.
LPEM FEB UI menganggap bahwa program Tapera bukanlah solusi mengentaskan masalah backlog yang tengah dihadapi Indonesia.
Tim Peneliti LPEM FEB UI yang terdiri dari Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri menilai seharusnya program menyediakan rumah layak untuk kelas menengah ke bawah adalah tanggung jawab pemerintah bukan kewajiban pekerja secara umum.
Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Apalagi, mereka melanjutkan, backlog atau krisis kebutuhan kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta unit rumah pada 2023, atau naik dari data pada 2022 sebesar 11,6 juta.
Hal ini disebabkan kompleksnya permasalahan penyediaan hunian di dalam negeri, mulai dari harga rumah yang kian mahal, inflasi harga bahan bangunan, ketidaksesuaian lokasi rumah yang tersedia dengan lokasi yang diinginkan masyarakat, serta menurunnya daya beli masyarakat.
“Untuk mengatasi kompleksitas ini, pemerintah perlu menerapkan serangkaian kebijakan sektor perumahan yang terintegrasi. Program Tapera bukan merupakan solusi utama untuk menyediakan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” tulis mereka dalam laporan khusus berjudul ‘Ribut Soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?’ dikutip Jumat 7 Juni 2024.
Seharusnya pemerintah lebih dulu mengkaji ulang soal Tapera, agar masalah perumahan dapat teratasi dengan efektif.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang program Tapera dan mengimplementasikan berbagai kebijakan lainnya agar masalah perumahan dapat teratasi dengan lebih efektif,” tegas mereka.
Menurut mereka para tim peneliti LPEM FEB UI, untuk menyediakan rumah yang terjangkau bagi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pemerintah bisa lebih fokus dalam peningkatan peran perumahan sosial (social housing).
Perumahan sosial adalah perumahan yang fokus menyediakan hunian bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu mengakses perumahan di pasar swasta.
Alokasi hunian ini juga harus dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan kemampuan bayar layaknya di pasar swasta.
Perumahan sosial dapat disediakan oleh pemerintah sendiri melalui pengembangan perumahan publik atau rusun maupun lembaga non-profit seperti pengembangan perumahan komunitas.
Pemerintah mereka anggap juga perlu melanjutkan program subsidi rumah untuk masyarakat menengah bawah dengan DP rendah, cicilan terjangkau, atau bahkan bebas pajak.
Adapun, rumah subsidi yang dibangun harus dekat dengan pusat perekonomian masyarakat dan diperlukan akses konektivitas seperti transportasi umum dan jalan tol apabila rumah subsidi dibangun di luar pusat perekonomian.
“Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi masyarakat yang bersedia untuk tinggal di rusun dalam bentuk subsidi iuran,” tulis Tim Peneliti LPEM FEB UI.
Kebijakan ini semua mereka anggap menjadi penting karena pertumbuhan harga properti residensial di pasar primer baru mengalami perlambatan yang signifikan ketika terjadi pandemi global Covid-19 dengan kenaikan rata-rata tahunan harga rumah tertinggi terjadi pada rumah tipe kecil (4,41% pra-pandemi vs 1,86% pascapandemi).
Sementara kenaikan rata-rata tahunan harga rumah tipe menengah dan besar relatif moderat (2,45% pra-pandemi vs 2,07% pasca-pandemi untuk rumah tipe menengah) dan (1,42% pra-pandemi vs 1,13% pasca-pandemi untuk rumah tipe besar).
Meskipun tumbuh melambat, tingkat harga rumah masih relatif tinggi terutama di kota-kota besar.
Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan tingkat harga rumah masih relatif tinggi terutama di kota-kota besar.
Misal dilihat dari harga rumah di Medan yang rata-rata setara dengan 23,5 kali rata-rata pendapatan tahunan.
Kemudian Surabaya 21,33 kali, Batam 20,94 kali, Makassar 19,78 kali, Jakarta 19,76 kali, Denpasar 16,9 kali.
Lalu Tangerang 15,77 kali, dan Bogor 15,56 kali rata-rata pendapatan tahunan. Serta Terendah di Malang 11,91 kali.
*
Discussion about this post