Suaranusantara.com- Pengguna internet tentu sudah tidak asing lagi dengan Google, sebuah mesin pencari yang di mana hampir seluruh dunia menggunakannya untuk mencari beragam informasi.
Dengan Google, maka pengguna dapat dipermudah mencari segala informasi mulai dari teks bahkan sampai gambar.
Sayangnya, di balik kemudahan mendapatkan informasi dari Google, ternyata ada bahaya yang mengintai bagi para penggunanya.
Sebab, ternyata di balik kemudahan yang didapat tanpa disadari bahwa pengguna telah menyerahkan sebagian dari kebebasan kita sebagai manusia kepada perusahaan milik Alphabet Inc. tersebut.
Dalam bentuk data, pengguna menyerahkan banyak sekali informasi kepada Google, mulai dari usia, band favorit, isi korespondensi, bahkan lokasi.
Itu semua sering kali pengguna serahkan tanpa sadar dan secara sukarela demi mendapat kemudahan-kemudahan yang Google tawarkan.
Sebagai “imbalan”, tak jarang pula kita dibombardir oleh konten atau iklan yang mustahil didapatkan seandainya Google tidak “mengenal” kita dengan baik.
Segala konten serta iklan yang terpersonalisasi itu sebenarnya merupakan konsekuensi dari segala informasi yang kita serahkan kepada Google.
Dengan kata lain, selama ini pengguna membiarkan diri dimata-matai oleh entitas abstrak yang di dalamnya tentu berisikan manusia-manusia lainnya, yang bakal semakin invasif jika terus menerus dibiarkan.
Pada dasarnya, di tiap interaksi dengan pengguna, ada data yang diambil oleh Google. Yang paling mendasar, ketika kita mengetik sesuatu di tab pencarian Google, lalu mengklik sebuah tautan yang disediakan, aksi yang kita lakukan itu bakal terekam.
Anda mungkin sering melihat hal ini, di mana tautan yang sudah pernah dibuka berubah warna dan ada tulisan kapan Anda mengaksesnya.
Dari histori pencarian dan kebiasaan tatkala mengakses mesin pencarian saja, Google sudah bisa mengenal kita lebih dekat.
Pada akhirnya, data-data tersebut digunakan untuk melatih algoritma Google untuk menawari kita semua produk atau layanan yang terpersonalisasi.
Sisi positifnya, semakin sering kita mencari sesuatu, hasil yang ditawarkan Google kepada kita bakal semakin akurat dan spesifik.
Untuk melacak kebiasaan pengguna ini, Google menggunakan apa yang disebut “third-party cookies” dan “trackers”.
Kedua fitur ini biasanya digunakan oleh jaringan iklan Google untuk mengoleksi informasi mengenai kebiasaan seseorang mengunjungi situs web tertentu, apa saja hal yang dia sukai, bahkan kebiasaannya dalam berbelanja.
Google memiliki pelacak yang ditempatkan di banyak sekali situs web untuk mengambil data-data semacam ini.
Mungkin ada di antara pembaca yang pernah terheran-heran, “Kok, tiba-tiba ada iklan tentang barang X yang muncul di hadapanku?”
Jawabannya sederhana, karena entah kapan Anda pernah mencari informasi mengenai barang tersebut dan pada akhirnya Google merekomendasikan itu kepada Anda.
Soal kebiasaan ketika berselancar di internet, jangan sekali-sekali terkecoh soal mode Incognito. Barangkali Anda berpikir bahwa mode ini aman dari pelacakan apa pun, tetapi faktanya tidaklah demikian.
Mode Incognito memang dirancang supaya apa yang Anda lakukan di sana tidak terekam oleh perangkat atau gawai. Namun, pihak-pihak lain tetap bisa mengetahui aktivitas Anda, mulai dari penyedia jasa internet sampai, well… Google, tentu saja.
Soal ini, Google pernah diseret ke meja hijau. Jadi, kendati Google Chrome (peramban resmi milik Google) tidak merekam aktivitas browsing di mode Incognito, trackers milik Google di situs web-situs web lain ternyata masih melakukan pengambilan data.
Inilah yang kemudian dipermasalahkan oleh sekelompok orang di Amerika Serikat. Hasilnya? Google setuju untuk menghapus miliaran data yang dikumpulkan lewat mode Incognito dan menyediakan opsi bagi pengguna untuk memblok “third party cookies” selama menjelajah di mode Incognito.
Kemudian, ada pelacakan lokasi. Sebagai pengguna Google Maps, saya berulang kali dibuat terkejut oleh notifikasi Google yang menyebutkan ke mana saja saya pergi pada tanggal sekian dan hari apa saja yang menjadi hari tersibuk saya.
Ini sebenarnya sangat mengkhawatirkan, karena kendati Google telah menerapkan disiplin ketat akan data pengguna, penyalahgunaan oleh oknum tetap rentan terjadi.
Namun, di sisi lain, sebagai orang yang kurang mahir ihwal navigasi, keberadaan Google Maps amatlah membantu.
Pelacakan lokasi yang dilakukan oleh Google Maps, atau aplikasi lain yang menggunakan Google Maps sebagai petanya, memang mencakup rute serta tempat mana saja yang dikunjungi.
Bahkan, apabila kita berada di dekat sebuah lokasi yang tercatat di Google Maps saja, kendati kita tidak memasukinya, identitas kita bakal tercatat pernah mengunjungi lokasi tersebut.
Di sisi lain, pelacakan lokasi ini memang sangat berguna. Selain untuk mengarahkan ke jalan yang benar, informasi mengenai kondisi lalu lintas juga bisa diberikan oleh Google secara real-time berkat pelacakan lokasi tersebut.
Ini belum termasuk fitur-fitur lain seperti rekomendasi tempat untuk dikunjungi ketika kita berada di area tertentu.
Akan tetapi, sekali lagi, segala kemudahan tersebut tidaklah gratis. Kita mungkin tak diminta sepeser pun oleh Google, tetapi informasi yang kita serahkan jauh lebih berharga karena mereka tahu cara memanfaatkannya.
Lagi-lagi, ini berfungsi supaya Google bisa memberikan rekomendasi konten serta iklan produk yang sekiranya cocok dengan selera seorang pengguna.
Dengan semakin luasnya fitur YouTube, di mana saat ini ada pula community posts, data yang dikumpulkan oleh Google pun semakin banyak.
Terakhir, yang tak kalah krusial adalah perangkat atau gawai. Beberapa waktu lalu saya pernah bekerja untuk sebuah perusahaan rekanan Google. Untuk mengerjakan semua tugas, saya diberi perangkat yang semua aktivitas di dalamnya bisa dilacak langsung oleh Google.
Ini menunjukkan betapa luasnya jangkauan Google ke dalam kehidupan setiap penggunanya.
Soal ini pun berlaku pada para pengguna perangkat dan gawai secara umum, khususnya gawai-gawai yang punya kaitan erat dengan Google seperti ponsel Android.
Dari sini, Google mengoleksi banyak sekali informasi mulai dari model perangkat, versi dari sistem operasi, sampai unique device identifiers.
Bagi pengguna, ini memang memudahkan dilakukannya integrasi antarplatform. Namun, di sisi lain, ini lagi-lagi menjadi bahan pelajaran bagi Google untuk mengetahui karakter si pengguna.
Di dalam gawai-gawai Google tersebut juga biasanya terdapat Google Assistant yang bisa diakses dengan suara. Kadang kala, layanan ini bisa terakses dengan sendirinya ketika gawai kita mendengar sebuah kata pemicu (trigger word).
Ketika ini terjadi, tentu kita bertanya-tanya, apakah Google diam-diam juga mendengarkan percakapan yang kita lakukan sehari-hari? Apabila itu terjadi, dan Google Assistant tidak sengaja terakses, maka jawabannya adalah ya.
Discussion about this post