Penulis: Eka Maryono
Nilai tukar rupiah terus melemah belakangan ini. Pada Rabu siang, 7 Maret 2018, berada di level Rp 13.800 per dollar AS. Sementara pada hari-hari sebelumnya juga bertengger di kisaran Rp 13.600 s/d Rp 13.800 per dollar AS.
Trend melemahnya rupiah terhadap dollar memang bukan hal baru di Indonesia. Pada masa akhir pemerintahan Presiden SBY, rupiah pernah melemah dari Rp 9.000 menjadi Rp12.000 per dollar AS. Dan publik tentu masih ingat betapa rupiah pernah dihajar habis-habisan saat krisis moneter pada akhir dekade 1990-an dulu. Pada Juni 1998, rupiah berada di posisi Rp 16.800 per dollar AS, padahal setahun sebelumnya masih aman di angka Rp 2.400 per dollar AS. Merosotnya nilai rupiah ini dipercaya menjadi salah satu hal yang mempercepat keruntuhan Orde Baru.
Masalah rupiah vs dollar ini memang kerap diarahkan menjadi isu politik. Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Gedung DPR-RI, Senin, 5 Maret kemarin telah mengkaitkan perihal melemahnya nilai rupiah dengan kegagalan pemerintahan Jokowi dalam menata perekonomian negara. Politisi Partai Gerindra tersebut juga menyindir Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dinilai belum optimal memperkuat nilai rupiah, meski ada intervensi dari Bank Indonesia.
Senada dengan Fadli Zon, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Doddy Zulverdi menilai turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) hingga mencapai Rp 13.800 dirasa terlalu berlebihan. Sebab dia melihat, dari berbagai variabel domestik, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, hingga pertumbuhan investasi, sebenarnya sudah cukup terjaga.
Lalu di mana letak permasalahan yang membuat rupiah melulu keok bila berhadapan dengan dollar? Benarkah tidak ada kelemahan pada berbagai variabel domestik yang ada di negeri ini?
Secara umum ada beberapa faktor penyebab melemahnya nilai rupiah, misalnya kegagalan pemerintah mengoptimalkan sektor ekspor dan pada saat bersamaan membiarkan negara ini kebanjiran produk impor. Pelaku pasar dan investor cenderung kehilangan kepercayaan, sehingga perlahan-lahan mengalihkan perhatian (membawa modalnya) ke luar negeri.
Runtuhnya kepercayaan pasar, lambat laun juga merembet ke sektor rumah tangga. Banyak rumah tangga kelas menengah ke atas yang akhirnya lebih senang menabung dalam bentuk dollar, sebab jauh lebih aman dan menguntungkan. Logikanya buat apa menabung portofolio dalam mata uang rupiah dengan iming-iming suku bunga tinggi bila di tengah jalan malah jeblok tidak karuan?
Belum lagi pelaku pasar AS yang selama ini menginvestasikan modalnya di berbagai negara, termasuk Indonesia, kemungkinan bakal menarik dananya untuk dialihkan ke negeri sendiri bila dollar AS terus menguat. Hal ini akan semakin melemahkan nilai mata uang lokal.
Sayangnya, pemerintah Indonesia terkesan lebih senang memakai alasan ekonomi global sebagai penyebab jatuhnya nilai rupiah. Menkeu Sri Mulyani menyebut pelemahan nilai tukar rupiah merupakan dampak testimoni Gubernur Bank Sentral AS Federal Reserve Jerome Powell yang berhasil meyakinkan pasar bahwa perekonomian AS dalam kondisi yang baik sejak akhir tahun 2017.
Pernyataan Powell tersebut diyakini bakal mendorong kenaikan acuan AS Fed Fund Rate (FFR) sebesar 75 hingga 100 basis poin di sepanjang tahun 2018 ini, mendorong koreksi di pasar saham AS, menaikkan imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury yield), serta penguatan indeks dollar AS. Menguatnya mata uang AS ini pada akhirnya memukul mata uang negara lain yang menjadikan dollar AS sebagai barometernya.
Menkeu Sri Mulyani meyakini trend melemahnya rupiah hanya sementara akibat sentimen eksternal dari AS tersebut, apalagi ekonomi dalam negeri saat ini masih cukup stabil. Keyakinan Menkeu diamini oleh beberapa pengamat moneter. Namun sebenarnya bila pelemahan rupiah terus dibiarkan, maka bukan hanya memperburuk perekonomian negara, tetapi juga bakal melebar pada masalah politik. Sindiran Fadli Zon kepada Menkeu Sri Mulyani sudah memperlihatkan fakta bahwa isu rupiah ini bisa dimainkan pada tataran yang berbeda.
Apalagi dalam waktu dekat, pemerintah AS dikabarkan akan kembali merilis sejumlah data ekonomi yang bila direspon positif oleh pasar, maka dipastikan dapat semakin memperkuat posisi dollar. Sebaliknya, bila data-data tersebut mendapat respon negatif, maka hal ini akan mendorong pelemahan dollar AS.
Kemungkinan fifty-fifty ini yang sepertinya membuat pemerintah Indonesia bersikap tenang. Tapi pemerintah seolah tidak menyadari atau pura-pura tidak mengerti bahwa Indonesia sudah berada di ambang batas laju kenaikan inflasi, akibat beberapa kebijakan dasar, seperti kenaikan tarif listrik dan kenaikan harga BBM non subsidi yang menyebabkan nilai mata uang semakin mengecil dibanding nilai barang dan jasa.
Alih-alih bersikap tenang, pemerintah seharusnya mengambil langkah cepat dan tegas dengan mengembalikan sentimen positif di dalam negeri. Caranya dengan memperbaiki faktor-faktor yang turut mempercepat pelemahan mata uang rupiah, jadi tidak melulu menggantungkan nasib pada positif atau negatifnya respon pasar di AS. Meski cara tersebut tidak bisa diharapkan keberhasilannya dalam waktu dekat, tapi prinsip ‘lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali’ tentu tak ada salahnya diterapkan.
Dalam waktu dekat, pemerintah perlu membenahi sektor ekspor sebagai mesin pencetak devisa, artinya dengan mencari solusi darurat untuk mengganti beberapa komoditi ekspor yang mengalami trend penurunan, seperti kelapa sawit dan batu bara.
Pemerintah perlu pula selekasnya memonitoring proyek-proyek yang menghabiskan dana APBN maupun APBD, dan harus berani menghentikan proyek-proyek tidak jelas yang hanya menghamburkan uang negara.
Faktor kepemimpinan yang lemah dan pertikaian internal dalam sebuah pemerintahan juga bisa berdampak negatif pada melemahnya mata uang setempat. Itu sebabnya, Presiden Jokowi perlu menunjukkan dirinya sebagai sosok pemimpin tangguh dan tegas yang tidak mudah dilecehkan, jangan seperti sekarang dimana dia cenderung menampilkan dirinya sebagai sosok yang santai dan pengalah.
Dalam jangka panjang, peran Bank Indonesia (BI) juga perlu diperkuat dan didorong untuk terus meningkatkan kerja sama dengan pemerintah-pemerintah daerah demi mencegah inflasi dengan terus memantau persediaan pangan, karena kurangnya persediaan pangan dapat memicu kenaikan harga yang membuat nilai mata uang semakin mengecil.
Namun perlu diingat bahwa menjaga stabilitas nilai mata uang bukan tanggungjawab pemerintah atau satu kementerian/lembaga semata, tapi merupakan hasil kerjasama dari banyak pihak, termasuk masyarakat. Sehingga tidak adil bila kita menyalahkan pemerintah saja. Sebab bukan mustahil, rakyat biasa pun turut menyumbang peranan dalam merosotnya nilai mata uang lokal.
Kita dapat membantu menjaga stabilitas rupiah dengan mengurangi transaksi menggunakan mata uang asing terutama dollar AS. Cara lainnya dengan membeli produk lokal dan mengurangi konsumsi barang impor.
Janganlah menjadi spekulan yang senang menukarkan rupiah dengan dollar atau memperbanyak portofolio dalam bentuk dollar demi memperoleh keuntungan. Mencari keuntungan memang hak masing-masing orang, tapi tidak ada gunanya keuntungan bila pada akhirnya hanya memicu laju inflasi yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Pada akhirnya, keuntungan yang diraih pun tidak akan maksimal setelah dikurangi selisih kenaikan tadi. ***
*) Penulis mantan wartawan desk ekonomi, sosial dan budaya, di Surat Kabar Mingguan (SKM) Inti Jaya dan Harian Suaka Metro. Kini menjadi kontributor untuk suaranusantara.com