Suaranusantara.com – Ekonomi tercatat tumbuh 5,72 persen secara tahunan pada kuartal III 2022. Pertumbuhan ekonomi moncer tersebut akan menjadi ‘kiblat’ penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang akan dibacakan oleh pemerintah pada 21 November nanti.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan JSK) Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengatakan UMP akan dilakukan langsung oleh gubernur masing-masing daerah sepekan setelah resmi diumumkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
“Jadi, gubernur akan menetapkan dan mengumumkan UMP 2023. Diumumkan insyaallah 21 November (oleh menaker), sedangkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) akan diumumkan 30 November 2022. Karena saya bukan gubernur, saya tidak berhak mengumumkan, tenang dulu ya,” jelasnya dalam konferensi pers belum lama ini.
Meski pemerintah memastikan UMP 2023 akan naik tahun depan, tapi para buruh masih was-was menanti keputusan besaran yang ditetapkan pemerintah. Kekhawatirannya, UMP tidak sesuai dengan kondisi saat ini, mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi lonjakan inflasi.
Sepanjang tahun ini, inflasi diprediksi bakal tembus 6,5 persen akibat kenaikan berbagai harga. Proyeksi inflasi ini melebihi target pemerintah di APBN yang sebesar 4 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menghitung berdasarkan data perekonomian saat ini dan proyeksi ke depan serta inflasi yang tinggi, maka kenaikan UMP 2023 idealnya lebih dari 11 persen.
Menurutnya, angka kenaikan tersebut berdasarkan formula perhitungan UMP dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
“Idealnya formulasi seperti PP 78/2015, yakni pertumbuhan ditambah dengan inflasi yang berarti kisaran kenaikan UMP tahun depan sebesar 11,4 persen,” tutur Bhima dikutip dari CNNIndonesia.com, Senin (7/11).
Bhima menilai perhitungan UMP 2023 seharusnya dilakukan pemerintah berdasarkan PP 78/2015 tersebut. Sebab, formula perhitungan UMP yang rencananya mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021 harusnya tak berlaku karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Seharusnya, kembali ke PP 78 karena UU Cipta Kerja juga diputus Mahkamah Konstitusi (MK) inkonstitusional bersyarat dan PP 36 adalah turunan UU Cipta Kerja, sehingga bisa dibilang tak sesuai dengan UUD 1945,” imbuhnya.
Selain itu, Bhima menilai penghitungan UMP dengan PP 36/2021 akan merugikan para pekerja dan cuma menguntungkan pengusaha. Sebab, perhitungan UMP pada PP 36/2021 tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dan justru memperlihatkan kemunduran dalam pengupahan.
Tahun ini, Kemnaker mengumumkan bahwa rata-rata kenaikan UMP adalah sebesar 1,09 persen. Meski nilai tersebut tidak tetap karena rata-rata dari seluruh provinsi di Indonesia, namun angka tersebut sangat lah kecil.
“Dengan formulasi UMP berdasarkan PP 36 UU Cipta Kerja, maka diperkirakan upahnya hanya akan naik tipis dan tidak bisa berkontribusi menjaga daya beli kelas menengah rentan,” katanya.
Padahal, Bhima melihat bahwa kenaikan UMP sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tak akan merugikan pengusaha, justru memberikan keuntungan. Pasalnya, pekerja yang menerima UMP ini bakal kembali membelanjakan uangnya dan ini sekaligus menjaga daya beli masyarakat tetap kuat.
“Kalau pendapatan masyarakat naik, uang yang akan dibelanjakan juga semakin besar yang untung, omzet, pengusaha akan naik. Apalagi, kecenderungan pekerja yang upahnya sedikit di atas UMP tahun berjalan akan langsung belanjakan uangnya dibanding saving (nabung),” kata Bhima.
“Jadi dengan menaikkan UMP, alih-alih pengangguran naik seperti yang ditakutkan pelaku usaha dan pemerintah, justru ini menjadi stimulus,” imbuhnya.
Oleh karenanya, Bhima berharap pemerintah bisa melihat keuntungan di balik kenaikan UMP ini, sehingga bisa kembali menggunakan PP 78/2015 atau merevisi UU Cipta Kerja yang termasuk di dalamnya ada PP 36/2021.
“Ya akhirnya perlu revisi UU Cipta Kerja karena payung hukum untuk pengaturan formulasi pengupahan ada di UU Cipta Kerja,” terang dia.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengaku belum melakukan perhitungan berapa kenaikan ideal untuk UMP 2023. Tapi, dia nilai seharusnya di atas 5 persen dengan melihat kondisi perekonomian dan inflasi tahun ini.
“Kalau mengacu ke peraturan dari rumus penetapan UMP, yakni antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sebenarnya untuk kemungkinan kenaikan UMP di 2023 berada di kisaran pertumbuhan ekonomi atau angka inflasi di tahun ini, yaitu di angka 5 persen atau lebih tinggi dari itu,” ungkap Rendy.
Menurutnya, pengusaha dan pemerintah dalam menetapkan UMP harusnya melihat kedua indikator tersebut. Jangan sampai kenaikan UMP 2023 justru merugikan negara karena daya beli yang turun di tengah kenaikan harga barang-barang (RND)
Discussion about this post