Suaranusantara.com- Sejak Rabu sore 7 Mei 2025 konklaf pemilihan Paus baru mulai digelar di Kapel Sistina, Vatikan. Pada konklaf 2025 ini diikuti oleh sebanyak 133 Kardinal dari berbagai belahan dunia, bahkan termasuk negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim.
Salah satunya yang mengikuti konklaf pemilihan Paus baru dari negara mayoritas Muslim adalah Indonesia.
Indonesis diketahui memiliki satu-satunya Kardinal yakni Kardinal Ignatius Suharyo yang merupakan Uskup Agung Jakarta.
Lantas apakah Paus terpilih nanti kemungkinan bisa berasal dari negara Muslim?
Diketahui, Kepausan secara historis dipegang oleh para kardinal dari negara-negara dengan mayoritas Katolik.
Pada konklaf tahun ini sangat berbeda, sebab
tidak hanya tertuju pada Eropa sebagai pusat tradisional Gereja Katolik, melainkan juga pada negara-negara minoritas Katolik, termasuk Indonesia.
Konklaf 2025 diperkirakan akan menjadi yang paling beragam secara geografis dalam sejarah Gereja Katolik.
Jika ditelusuri kembali ke akar bahasa Latinnya, istilah “konklaf” secara kasar diterjemahkan menjadi “di bawah kunci dan gembok,” menurut Kathleen Sprows Cummings, seorang pakar Paus Fransiskus yang diakui secara nasional dan profesor Studi dan Sejarah Amerika di Universitas Notre Dame.
Kardinal Suharyo yang berasal dari negara mayoritas Islam, kehadirannya di konklaf menyiratkan perubahan arah dalam Gereja Katolik global.
Memang namanya bukanlah masuk kandidat terkuat pengganti Paus Fransiskus. Akan tetapi mendiang Paus Fransiskus pada saat melakukan kunjungan ke Indonesia 3-6 September 2024 lalu memuji Gereja Katolik di Indonesia sebagai komunitas kecil namun “hidup dan dinamis”.
“Gereja Katolik di Indonesia, meski hanya mencakup 3% dari populasi, menunjukkan kekuatan spiritual yang luar biasa dalam keragaman budaya,” ujar Paus Fransiskus saat itu.
Dalam wawancara, Dr. Joel Hodge, pakar teologi dari Universitas Katolik Australia, menyatakan bahwa peluang paus dari negara non-Katolik semakin terbuka.
“Geopolitik jelas menjadi pertimbangan. Yang terpenting bukan asal negaranya, tapi teologi, spiritualitas, dan gaya kepemimpinannya,” jelasnya.
Bahkan Mongolia dengan mayoritas penduduk Islam, kini memiliki Kardinal. Ini menjadi perkembangan yang luar biasa.
“Bahkan negara seperti Mongolia kini punya kardinal. Ini perkembangan signifikan,” ujarnya lagi.
Sementara itu, banyak yang melihat konklaf kali ini sebagai titik balik, saat suara dari pinggiran dari negara-negara seperti Timor Leste, Filipina, dan Indonesia mulai diperhitungkan dalam pengambilan keputusan tertinggi Gereja.
Meski Kardinal Suharyo tidak secara terbuka menyatakan ambisi untuk menjadi paus, sosoknya dikenal blak-blakan dan progresif.
Karakter ini mungkin mencerminkan kebutuhan zaman, yakni pemimpin yang tidak hanya rohani, tetapi juga mampu menjawab tantangan sosial-politik global secara bijak.
Discussion about this post