Jakarta-SuaraNusantara
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Masyarakat Nusantara (LBH AMANAT) Rapen AM Sinaga mengatakan, tindakan BPJS Kesehatan sudah tidak bisa ditolerir, karena banyak peserta BPJS Kesehatan yang berobat namun malah diperlakukan dengan tidak beradab, padahal kewajiban sudah dipenuhi oleh pasien.
“Kami meminta agar aparat penegak hukum segera mengusut dugaan penyelewengan dana BPJS Kesehatan. Sebab, dalam prakteknya, sudah kian aneh dan tidak tepat sasaran penggunaan dana itu. Pasien yang merupakan peserta BPJS Kesehatan malah tidak di-cover. Laporan-laporan faktual sudah sering disampaikan ke BPJS Kesehatan, namun tidak ada upaya serius memperbaikinya,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Masyarakat Nusantara (LBH AMANAT) Rapen AM Sinaga, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rapen juga meminta aparat penegak hukum, seperti KPK, kejaksaan dan kepolisian harus turun tangan membongkar dugaan penyelewengan dana BPJS Kesehatan. Sebab selama ini belum pernah ada sanksi tegas terhadap pejabat BPJS Kesehatan yang diduga melakukan penyelewengan dana kesehatan dan juga abuse of power (penyalahgunaan wewenang).
Selain mempersulit para peserta dalam proses pembiayaan dan perobatan, jajaran Direksi BPJS Kesehatan juga dianggap tidak transparan dan selalu berkelit di balik kewenangan tertulis untuk membenarkan tindakan tidak manusiawi yang dilakukannya kepada para peserta BPJS Kesehatan itu sendiri.
Rapen mengisahkan kejadian yang dialami seorang pria warga Tangerang berusia 18 tahun bernama Yohanes Suryadi, yang dioperasi di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan karena menderita pengeroposan tulang pinggul, pada Oktober 2016 lalu. Meski memiliki kartu BPJS, namun Yohanes tetap diharuskan membayar biaya perobatan sebesar Rp 46 juta.
Rapen yang turun melakukan advokasi dan pendampingan kepada Yohanes kemudian mendatangi BPJS Center di Rumah Sakit itu. Kepala BPJS Center tersebut menjelaskan, pihaknya tidak bisa meng-cover biaya perobatan pasien, dikarenakan ada aturan di Peraturan Menteri Kesehatan 28/2014 yang menyebabkan pasien tidak akan di-cover.
“Ya pasien ini tidak boleh pulang, karena belum membayar biaya Rumah Sakit. Pasien tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan, karena keterlambatan laporan, yang seharusnya dalam waktu 3 x 24 jam harus sudah melaporkan kepesertaannya sebagai peserta BPJS . Itu sesuai dengan Permenkes 28/2014,” ujar Kepala BPJS Center tersebut.
Rapen menyampaikan, BPJS Kesehatan sendiri sudah mempersulit peserta BPJS agar di-cover biaya perobatannya, karena minimnya informasi yang disampaikan oleh pihak BPJS Kesehatan tentang laporan wajib oleh pasien dalam 3 x 24 jam.
“Kok terus-terusan urusan lapor-lapor lagi. Namanya sakit dan mau operasi ya harusnya semua data peserta sudah ada dong, tinggal mengecek di data base. Selamatkan nyawa dulu, jangan karena sedikit saja telat lapor langsung dianggap tidak akan di-cover biayanya. Sebenarnya, pasien pun akan melapor, tetapi kok karena keterlambatan sehari saja, sudah langsung ngotot tak akan di-cover lagi oleh BPJS Kesehatan? Pelayanan apaan begitu?” ungkap Rapen.
Atas keterlambatan melapor itu, lanjut rapen, maka pasien pun dianggap bukan sebagai peserta BPJS Kesehatan. “Padahal sudah ditunjukkan data dan kartu kepesertaan BPJS Kesehatannya, kok malah tetap ditolak? Harus bayar tunai supaya bisa pulang? Ngaco nih,” ujarnya.
Di tempat yang sama, bibi Yohanes Suryadi mengatakan keponakannya selalu bayar iuran BPJS. Tapi hanya karena terlambat 1 hari saja tidak melapor, langsung dikategorikan bukan peserta BPJS,” ujarnya.
Tidak terima dengan jawaban Kepala BPJS Center Rumah Sakit, Rapen bersama keluarga korban kemudian mendatangi Direktur Utama Rumah Sakit tersebut. Akhirnya, Sang Dirut berinisiatif mengeluarkan surat dan memperbolehkan pasien untuk pulang, karena menurutnya masalah ini hanya persoalan administatif. Tapi dia menyayangkan tindakan keluarga pasien yang membawa pengacara, karena sebenarnya keluarga pasien bisa langsung bertemu dengannya.
“Saya sangat menyayangkan kenapa harus pakai pengacara? Kenapa klien dan bagian keuangan enggak langsung eskalasi ke Dirut? Lain kali tidak perlu dibuat rumit begitu,” ujarnya.
Tapi persoalannya, jika pengacara tidak turun tangan dalam kasus ini, apakah keluarga pasien benar-benar dapat dengan mudah bertemu langsung dengan Direktur Utama Rumah Sakit? (arman)