Suaranusantara.com – Kontroversi rumah adat Nias di TMII
“Jadi rumah adat yang kita usulkan itu bentuk rumah adat yang mewakili rumah adat di seluruh Kepulauan Nias, bentuk oval dan itu yang umum di Nias, bukan bangunan yang sudah terbangun selama ini.” Kalimat Otoli Zebua yang dikutip media online Suara Nusantara itu telah memantik banyak komentar, Pro-kontra.
Pada tanggal 1 September 2023 yang lalu Badan Penghubung Provinsi Sumatera Utara di Jakarta mengundang sejumlah orang untuk urun rembuk terkait pembangunan 4 miniatur rumah adat (Karo, Mandailing, Simalungun, dan Nias) yang sedang berlangsung di Anjungan Sumatera Utara, Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Dalam pertemuan itu ada beberapa nama yang dikira mewakili Kepulauan Nias. Belakang disebutkan bahwa nama-nama terundang atas rekomendasi Dermawati Harefa.
Pertemuan telah diadakan. Diskusi telah berlangsung. Usulan dari mereka yang dikira perwakilan masyarakat Kepulauan Nias untuk mengganti bentuk miniatur rumah adat sebelumnya telah disampaikan. Dan sebagaimana diketahui usulan yang terkesan prematur itu telah menuai banyak kontroversi.
Kesalahapaham bertebaran dimana-mana. Klarifikasi pun dari pihak-pihak yang dituduh ikut ‘terlibat’ dalam usulan ini langsung bermunculan. Tentu saja situasi seperti ini cukup menguras energi dan tidak baik bagi ‘kesehatan’ persatuan ke-Nias-an.
Terlepas dari itu, sebenarnya usulan di atas tidak bisa diakomodir begitu saja oleh pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dengan beberapa alasan. Pertama, mereka yang hadir dalam pertemuan tidak mewakili suara masyarakat Kepulauan Nias secara resmi.
Bahkan sekalipun di sana ada Ya’atulo Gulö yang adalah bupati Kabupaten Nias, namun sosoknya tetap tidak mewakili pemerintah 4 kabupaten dan 1 kotamadya yang ada di Kepulauan Nias – apalagi mewakili seluruh suku Nias. Demikian juga nama-nama lain yang ikut hadir, mereka tidak benar-benar merepresentasikan Ono Niha diaspora di Jakarta.
Boleh dikatakan bahwa mereka bisa ada di sana hanya karena faktor kenalan pribadi dengan ‘orang dalam’, dan tidak mewakili ormas atau pemerintah daerah manapun. Sangat disayangkan pihak pengundang sekelas Badan Penghubung bisa melakukan kecerobohan seserius ini.
Kemudian alasan kedua yang membuat usulan itu tidak perlu didengarkan yaitu masterplan bangunan sudah ada sejak 3 tahun yang lalu, dan proses pengerjaan sudah dilakukan 20% terdiri dari pertapakan dan fondasi. Jadi ketika tiba-tiba ada pihak yang ingin membelokkannya di pertengahan jalan, bukankah itu tidak lebih dari pemaksanaan kehendak yang kontrapodruktif.
Kenapa arsitektur dari Selatan?
Kenapa miniatur rumah adat model dari Selatan yang ada di TMII? Pertanyaan penting yang perlu dijawab guna menyatukan persepsi publik sehingga ke depan kejadian seperti ini yang berpotensi memecah-belah Ono Niha tidak terulang lagi.
Keberadaan miniatur rumah adat suku Nias di TMII tidak dapat dilepaskan dari nama Simon Faka Manaö alias Ama Darwin, salah satu pimpinan Dewan Mahasiswa Atmajaya yang pernah turun ke jalan memprotes pembangunan TMII pada tahun 1971 karena menggusur pemukiman warga.
Setelah perundingan alot, dan pemerintah bersedia memberi ganti rugi kepada warga yang terdampak, kemudian Faka dengan dibantu rekan-rekannya mengusulkan kepada Ibu Tien Soeharto (inisiator pembangunan TMII) agar rumah adat asal Kepulauan Nias ikut dihadirkan di Anjungan Sumatera Utara. Usulan pun diterima, maka berdirilah rumah itu di sana.
Ketepatan modelnya meniru gaya arsitektur dari Selatan khususnya wilayah Telukdalam (nama kecamatan sebelum pemekaran) tapi bangunan itu sendiri lebih dikenal sebagai rumah adat (suku) Nias, bukan rumah adat Telukdalam, dan bahkan sampai sekarang setelah pemekaran sebutan awal itu tetap dipertahankan, bukan tiba-tiba menjadi rumah adat kabupaten Nias Selatan. Tidak! Itu adalah rumah bersama Ono Niha. Karena itu boleh dikatakan niat terselubung yang hendak menyingkirkannya dari sana, merupakan pengaburan sejarah dan sikap yang kurang menghargai jasa para pendahulu.
Pemilihan model rumah dari Selatan saat itu, bukan karena penggagasnya berasal dari Telukdalam, wilayah Nias bagian Selatan. Tidak sesederhana itu. Sejatinya model itu telah ‘berbicara’ banyak tentang kualitas arsitektur suku Nias, dan dunia pun mengakuinya.
Pengakuan akan bangunan asli milik Ono Niha telah ada jauh sebelum miniaturnya dibangun di TMII, dan masih saja diakui sampai hari ini, ketika segelintir orang meragukan nilainya. Het Niassche Huis (D.W.N. de Boer, 1902); The Architecture of Nias, Indonesia with Special Refence to Bawomataluo Village (J. Feldman, 1977); Arsitektur Tradisional Nias Selatan (Laporan Penelitian Mahasiswa ITB, 1984); dan Omo Sebua, Ps. Yohannes, 1990) adalah beberapa tulisan yang dengan tulus mengapresiasi keunggulan bangunan warisan leluhur Ono Niha.
Di beranda facebooknya, Marselino Fau mengutip tulisan Prof. Feldman yang menuliskan bahwa rumah yang terbuat dari kayu yang paling mengagumkan di Asia Tenggara adalah rumah-rumah pemimpin terkemuka di Nias bagian Selatan.
Belakangan Fani Atmanti melakukan riset terhadap rumah adat Nias lalu menuangkannya dalam buku berjudul Indigenous Knowledge Series 1: Structural Genius, Bawomataluo Village, Nias Island.
Jikalau buku-buku itu dirasa masih kurang cukup juga, setiap orang dapat mencari jurnal-jurnal terkait arsitektur Nias, dan/atau melakukan kajian pustaka terhadap buku-buku kuno yang membahas warisan budaya Nias – di sana bertebaran tulisan yang mengerucut pada bangunan khas Nias dari Selatan sebagai arsitektur Ono Niha.
Kemudian penerbitan mata uang kertas seribu rupiah bergambar lompat batu dan rumah adat khas Nias bagian Selatan pada tahun 1992, serta guratan relief di Monuman Nasional yang memakai media yang sama telah ikut menguatkan pengakuan di atas.
Sampai di sini kita dapat mengerti bahwa arsitektur Nias bagian Selatan telah mempopulerkan nama Kepulauan Nias di level nasional maupun internasional. Itu terhitung sejak dahulu kala dan masih saja sampai sekarang.
Bangunan itu bukan sekedar tempat tinggal, tetapi di setiap bagiannya terekam kekayaan intelektual dan nilai-nilai luhur leluhur suku Nias. Kemudian lebih dari sekedar popularitas, sesungguhnya arsitektur itu telah menjadi milik dunia – milik bersama.
Pada tahun 1923, Agner Møller, seorang dokter asal Denmark berjuang menyelamatkan omo sebua milik si’ulu Hilimondegeraya dari kerusakkan, kemudian ia membawanya ke Eropa, dan bagian-bagiannya masih ada di museum Kopenhagen sampai sekarang.
Tindakan penyelamatan ini mencerminkan sikap rasa memiliki seorang asing terhadap artefak suku Nias. Kegigihan para akademisi asal Jepang yang berulang kali datang ke Bawömataluo menjalankan misi pelestarian omo sebua di sana ikut mencerminkan spirit yang sama.
Perhatian dunia ini sangat bertolak belakang dengan sikap beberapa orang yang ingin mengganti miniatur rumah adat itu di TMII dengan alasan yang sangat sepele yaitu tidak mewakili model rumah adat di Kepulauan Nias.
Jikalau orang-orang asing begitu menghargai bahkan ada rasa memiliki terhadap warisan leluhur Ono Niha, kenapa warga lokal sendiri bersikap sebaliknya hanya karena ego sektoral dan tanpa kajian akademis?
Sebagai tambahan, keberadaan dan pemugaran miniatur rumah adat suku Nias khas wilayah Selatan di TMII saat ini seharusnya diperlakukan sebagai salah satu bentuk dukungan moril yang mendorong salah satu desa adat di Kepulauan Nias menjadi situs warisan dunia UNESCO.
Untuk diketahui sejak tahun 2018 yang lalu Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan Bawömataluo sebagai Desa Cagar Budaya Nasional.
Penetapan itu dipengaruhi oleh keberadaaan ratusan rumah adat yang masih berdiri kokoh di sana – yang miniaturnya telah berdiri TMII sejak tahun 1970-an, dan saat ini sedang dalam pemugaran. Keberhasilan Bawömataluo menjadi situs warisan dunia alhasil adalah kebanggaan Kepulauan Nias.
Sekarang kita tiba pada pertanyaan inti apakah benar rumah adat Nias model Selatan tidak mewakili bangunan Kepulauan Nias secara keseluruhan? Menjawab itu, saya hendak mengutip komentar Arisman Zagötö di salah satu WAG.
Ia menulis demikian, rumah adat berbubungan tinggi dan mengotak (maksudnya model Nias bagian Selatan) selain yang ada di Telukdalam, dapat ditemukan juga mulai dari Soliga, Lölömatua hingga Ehosakhozi yang merupakan perbatasan dengan Lölöfitu Moi di Nias Barat dan Desa Duria di Kabupaten Nias. Ke arah Timur tersebar di wilayah Gomo hingga Umbunasi turun ke bawah di Bawölato dan Kabupaten Nias hingga Idanömola.
Dari Öri Neho tersebar ke dalam hingga wilayah Amandaya, Aramö hingga Ulunoyo. Sebaran arsitektur ini ia bandingkan dengan keberadaan rumah adat berbentuk oval yang tersisa tinggal 6 rumah di Kepulauan Nias yaitu di Lölömboli, di desa Lahagu, Gidö, Binaka, Hilina’a, dan Tumöri / Hiliduho.
Angka ini berbanding terbalik dengan ribuan rumah adat model Nias bagian Selatan yang tersebar di banyak desa tradisional dan masih ditempati warga. Arisman menutup komentarnya dengan melempar pertanyaan bernada perenungan: “Adilkah meniadakan eksistensi ribuan rumah model Nias bagian Selatan, dan mengatakan yang oval yang umum?”
Persembahan Nias bagian Selatan bagi Kepulauan Nias
Nias bagian Selatan khususnya wilayah bekas kecamatan Telukdalam sebelum pemekaran adalah bagian tak terpisahkan dari Kepulauan Nias. Penduduknya menyebut dirinya Ono Niha sama seperti orang Nias lainnya yang tersebar di wilayah-wilayah lain Kepulauan Nias.
Hubungan kekerabatan pun yang terjalin melalui ikatan perkawinan telah berlangsung sejak dulu dengan saudara-saudaranya sesama Ono Niha yang di luar Telukdalam. Semuanya ini menunjukkan bahwa Ono Niha satu adanya (fa’aononihasa). Sikap segelintir orang yang masih mengusung semangat polarisasi wilayah sudah tidak relevan.
Bahwasannya Nias bagian Selatan memiliki beberapa keunikkan, tetap saja tidak menihilkan realitas ke-Nias-annya. Sebaliknya keunikkan-keunikan itu telah menjadi persembahan yang memperkaya Kepulauan Nias secara keseluruhan, dan membuatnya dikenal di seantero Sumatera Utara, Indonesia, bahkan dunia.
Beberapa keunikkan dari Nias bagian Selatan selain arsitektur rumah yaitu eksistensi desa-desa tradisionalnya yang masih terawat dengan baik seperti Hilisimaetanö, Bawömataluo, Orahili, Hilinawalö, Bawöganöwö, Hilimondegeraya, dan belasan desa adat lainnya; berbagai atraksi budaya seperti fahombo, tarian maluaya, tarian mogaele; warisan batu-batu megalitikum di Tundrumbaho dan Börönadu Gomo.
Demikian juga dengan kekayaan alamnya, sebut saja pantai Sorake yang ombaknya menjadi salah satu spot surving terbaik di dunia. Semuanya ini telah menarik perhatian dunia, mendorong mereka datang ke Kepulauan Nias. Entah sudah berapa banyak wisatawan asing telah menyambangi Kepulauan Nias karena daya tarik yang disuguhkan sepotong wilayahnya di bagian Selatan.
Elio Modigliani adalah salah satu nama penjelajah asal Italia di masa lalu yang nekat datang ke Kepulauan Nias pada tahun 1886 hanya karena ingin melihat gunung Lölömatua di Nias bagian Selatan. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah artefak-artefak di Museum Pusaka Nias yang berlokasi di Gunungsitoli mayoritas adalah artefak unik dari Nias bagian Selatan.
Apakah semuanya itu hadir untuk memuaskan ego masyarakat Nias bagian Selatan? Tidak! Itu adalah persembahan bagi keharuman nama suku Nias dan Kepulauan Nias. Kenyataan bahwa itu asal usulnya dari Selatan tidak mungkin dipungkiri, namun dalam hal rasa memiliki itu adalah milik bersama suku Nias.
Untuk lebih jelasnya barangkali perlu diambil contoh terbalik. Bahasa orang Nias terdiri dari dua bagian utama yaitu dialek Utara dan Selatan. Oleh misionaris Heinrich Sunderman, dialek Utara dipakai menjadi bahasa bagi penulisan Soera Ni’amoni’ö yaitu Alkitabnya orang Nias. Kitab Suci ini sekalipun memakai dialek Utara namun itu diterima dengan baik oleh gereja-gereja yang ada di wilayah Selatan.
Di setiap rumah dan mimbar-mimbar gereja Selatan Soera Ni’amoni’ö dibaca tanpa beban, tanpa sentimen bahwa itu bukan dialek Selatan. Bahasa itu diterima dan dihargai sebagai bahasa bersama, bahasa Nias, sekalipun dialeknya berasal dari wilayah Utara.
Perenungan
Kembali pada polemik kehadiran miniatur rumah adat suku Nias model dari Selatan di TMII. Megaproyek pemerintah Joko Widodo yang saat ini sedang memugar TMII termasuk rumah-rumah adat di dalamnya seharusnya menyatukan masyarakat Kepulauan Nias khususnya mereka yang berdomisili di Jabodetabek.
Pemugaran rumah bergaya arsitektur Nias bagian Selatan perlu dikawal dengan baik. Dipastikan bentuk bangunannya mendekati yang sebenarnya – untuk kebutuhan ini kaum si’ulu (bangsawan), si’ila (cendikiawan), dan tukang-tukang lokal wajib dilibatkan karena merekalah yang lebih tahu keadaan rumahnya sendiri dibanding tenaga kerja kontraktor. Dan yang terutama masyarakat Kepulauan Nias mau memperlakukan bangunan itu sebagai rumah bersama – omo sebua Ono Niha diaspora.
Kalaupun ada keingingan untuk menghadirkan miniatur rumah adat khas Utara berbentuk oval itu tidak berkesalahan. Masyarakat Kepulauan Nias dapat mengusulkan supaya rumah oval ikut dihadirkan di TMII, tetapi jangan membuang yang sudah ada. Selanjutnya, kita juga harus akui bahwa sebenarnya arsitektur Nias tidak hanya ada pada dua model ini.
Di Nias bagian Selatan sendiri sekalipun modelnya rumahnya sama yaitu persegi dengan bubungan tinggi, namun tetap saja ada varian-variannya seperti yang dinamakan omo tuho, omo sala, omo nitörö arö, dan omo nifolasara. Indonesia dan dunia perlu tahu keragaman kekayaan arsitektur leluhur ini dengan menghadirkan semuanya di TMII. Dan kalau ada keterbatasan lahan yang sulit menampung semuanya, maka dapat disiasati dengan cara membuat maket-maket kecil lalu memajangnya di dalam miniatur rumah yang sedang dipugar itu.
Akhirnya mari kita menyadari fakta bahwa populasi Ono Niha di negeri ini terbilang kecil dibanding dengan suku-suku lainnya. Fakta ini seharusnya mendorong kita untuk menyatukan energi – bukan malah membangun temboknya masing-masing. Bahwa Kepulauan Nias terdiri dari 5 wilayah administratif berbeda itu tidak boleh menceraikan fa’aononiha kita.
Lagipula, hari ini kita hidup di dunia yang dinamakan Kampung Global. Semua orang terhubung satu sama lain. Karena itu orang Nias harus bisa bersatu dan berkolaborasi. Mari kita wujudkan dalam proses pemugaran rumah adat Kepulauan Nias khas Selatan di TMII. Mari kita menerimanya sebagai rumah bersama, omo sebua kita.***
*) Penulis : Novelman Wau (Pemerhati budaya Kepulauan Nias)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Suaranusantara.com
***
**) Laporan atau taging Laporan di Suaranusantara terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: hi@suaranusantara.com atau Suaranusantaradotcom@gmail.com
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi Suara Nusantara.
Discussion about this post