Suaranusantara.com- IM57+ turut menyoroti soal mantan Kabiro Humas sekaligus Juru Bicara KPK Febri Diansyah yang menjadi salah satu kuasa hukum Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Melalui Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito menanggapi dengan menyinggung soal etika terkait bergabungnya Febri Diansyah menjadi kuasa hukum Hasto Kristiyanto.
Kata Lakso, Febri saat kasus OTT mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawa menjabat sebagai Jubir KPK.
“Secara etika bukanlah hal yang patut dibenarkan dengan mengingat bahwa posisi Febri pada saat proses penanganan kasus OTT KPU sebagai Juru Bicara KPK,” kata Lakso saat dihubungi, Rabu 12 Maret 2025.
Untuk diketahui kasus yang menjerat Hasto ini berawal pada tahun Januari 2020. Saat itu, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang berujung penetapan empat orang sebagai tersangka yang salah satunya mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Selain Wahyu, tiga orang lainnya adalah Agustiani Tio selaku orang kepercayaan Wahyu Setiawan, Harun Masiku selaku caleg DPR dari PDI Perjuangan dan Saeful.
Wahyu, Agustiani, dan Saeful telah menjalani proses hukum hingga divonis bersalah oleh pengadilan. Wahyu dinyatakan bersalah menerima suap sekitar Rp 600 juta agar mengupayakan Harun Masiku menjadi anggota DPR lewat pergantian antarwaktu (PAW) periode 2019-2024.
Wahyu, Agustiani dan Saeful telah bebas dari penjara. Sementara, Harun Masiku sendiri masih buron hingga kini.
Lalu pada 24 Desember 2024, KPK menetapkan Sekjen PDI Perjuangan Hasto sebagai tersangka. Selain Hasto, KPK menetapkan pengacara bernama Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka baru kasus ini.
Febri diketahui saat kasus ini mencuat oada 2020 masih menjabat sebagai Kabiro Humas KPK. Febri baru mundur dari KPK pada September 2020.
Lakso pun menyoroti latar belakang Febri sebagai pegiat antikorupsi. Dia menyayangkan langkah yang diambil Febri membela Hasto.
“Terlebih, seharusnya Febri memahami batas-batas etika di mana pernah juga berkecimpung sebagai pegiat antikorupsi sebelum bergabung dengan KPK. Lebih disayangkan lagi, Febri harusnya memahami peran Hasto dalam revisi UU KPK maupun TWK (Tes Wawasan Kebangsaan),” ujarnya.
Selain itu, Lakso juga menyoroti penilaian Febri soal dakwaan KPK yang terkesan seperti dioplos. Menurutnya, justru Febri yang tak memahami betul kasus tersebut.
“Kedua, secara substansi, masuknya Febri sama sekali tidak memberikan kontribusi dalam membuat Hasto menjadi lebih baik. Mengingat penjelasan yang diberikan malah menjadi narasi tanpa adanya basis faktual yang menunjukkan bahkan Febri pun tidak memahami kasus ini secara teknis. Apabila memahami, dari hanya data praperadilan saja sudah mampu menunjukkan KPK memiliki bukti yang solid,” jelasnya.
Lakso, yang dipecat dari KPK karena dinyatakan gagal TWK, menilai pernyataan soal dakwaan oplosan menandakan tim hukum Hasto tak percaya diri memenangkan persidangan. Dia menganggap tim Hasto memilih adu narasi.
Discussion about this post