Suaranusantara.com- Demo penolakan terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru masih terus berlangsung di sejumlah wilayah sampai dengan kemarin Senin 24 Maret 2025.
Bahkan aksi demo di sejumlah wilayah di Tanah Air terkait menolak UU TNI baru memanas dan berujung ricuh.
Adapun UU TNI baru ini resmi disahkan oleh DPR RI pada Kamis 20 Maret 2025 melalui rapat paripurna ke 15 Masa Sidang II Tahun Persidangan 2024-2025.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal pun menyoroti soal aksi demo penolakan terhadap UU TNI yang baru.
Nicky memperkirakan, gelombang aksi massa menolak UU TNI baru ini akan bisa jadi berlangsung konsisten apabila pemerintah tidak berbenah dan terus memunculkan rencana mengubah peraturan perundang-undangan yang ada.
Tak hanya itu, saat ini masyarakat juga menyoroti rencana pemerintah dan DPR yang akan melakukan revisi Undang-Undang Polri, Kejaksaan hingga rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
“Kalau saya katakan, jika pemerintah tidak mau belajar dari peristiwa-peristiwa politik sebelumnya, tetap ugal-ugalan, pengelolaan negara itu seenaknya saja, serampangan saja, maka aksi ini akan semakin konsisten,” kata Nicky dalam diskusi soal RUU TNI, di kantor CSIS, Jakarta, Senin 24 Maret 2025.
Kata Nicky, UU TNI baru menulai penolakan dan kini pemerintah bersama DPR berencana akan revisi UU Polri. Maka bersiaplah publik akan muncul lebih banyak lagi terlebih institusi yang dipimpin Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini punya catatan sepanjang tahun ini.
“Mungkin revisi UU Polri ini akan lebih semarak lagi karena memang Polri meninggalkan catatan-catatan yang lumayan dari 2024 sampai 2025,” ujar dia.
Mau tidak mau aksi akan semakin konsisten jika pemerintah malah terus ugal-ugalan begini.
“Maka aksi ini akan konsisten dan mungkin akan makin besar apabila pemerintah tidak mau belajar, tidak mau berbenah, mau seenaknya sendiri saja. Maka masyarakat sipil akan selalu menjawab respons pemerintah yang ugal-ugalan,” tambahnya.
Terakhir, menurutnya, masyarakat sipil memang harus memberikan atensi kepada sikap atau kebijakan pemerintah dalam penyusunan UU.
“Mengapa demikian? Karena, seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa dalil kegentingan yang memaksa, atau keadaan darurat, itu sudah menjadi lembaga di dalam perumusan kebijakan hukum,” pungkasnya.
Discussion about this post