Suaranusantara.com- Forum Purnawirawan TNI mengajukan sejumlah tuntutan yang di mana salah satunya adalah menuntut untuk makzulkan Gibran Rakabuming Raka dari kursi Wakil Presiden RI (Wapres RI).
Tuntutan itu diajukan oleh Forum Purnawirawan TNI lantaran dinilai telah melanggar aturan Mahkamah Konstitusi (MK).
Forum Purnawirawan TNI mengaku telah menemui Presiden RI Prabowo Subianto mendiskusikan tuntutan makzulkan Gibran.
Akan tetapi Prabowo tentu tidak serta merta mengiyakan tuntutan Forum Purnawirawan TNI terlebih satu almamater.
Prabowo tentu terlebih dahulu mempelajari tuntutan-tuntutan Forum Purnawirawan TNI itu.
Pernyataan ini disampaikan oleh Penasihat Khusus Presiden untuk bidang Politik dan Keamanan, Jenderal (Purn) TNI Wiranto, pada Kamis, 24 April 2025.
“Dipelajari satu per satu karena itu masalah-masalah yang tidak ringan, masalah yang sangat fundamental,” katanya dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Namun, bagaimana cara agar pemakzulan terhadap Gibran bisa berhasil dilakukan secara konstitusional?
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mulanya menjelaskan agar pengusul pemakzulan Gibran tidak hanya berfokus kepada aturan tertentu yaitu Pasal 3 UUD 1945 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Di mana dalam ayat 3 pasal tersebut, MPR memiliki wewenang untuk memberhentikan Presiden ataupun Wakil Presiden.
“Kita semua paham Majelis Permusyawaratan Rakyat memang memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden. Tetapi, kan kalau kita baca, tidak boleh hanya membaca Pasal 3 Undang-Undang Dasar,” katanya dikutip pada Jumat 2 Mei 2025.
Zaenal juga mengungkapkan bahwa pihak-pihak yang mengusulkan pemakzulan, harus mempertimbangkan pasal lain dalam UUD 1945 yaitu Pasal 7A dan 7B UUD 1945 yang mengatur soal mekanisme pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden.
“Jadi untuk memberhentikan Presiden (dan Wakil Presiden) ada dua hal yang harus dibacakan, yaitu yang pertama adalah syaratnya kenapa dia diberhentikan dan kedua adalah tata caranya atau mekanisme penegakannya,” tuturnya.
Zaenal mengatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam pemakzulan terhadap Presiden dan Wapres.
Tiga hal itu di antaranya pertama, Presiden atau Wapres bisa diberhentikan jika ada permasalahan terkait administrasi.
Lalu kedua, adanya pelanggaran hukum selama menjabat dan ketiga, adalah syarat melakukan perbuatan tercela atau miss the manner.
Setelah syarat tersebut ternyata memang terpenuhi, maka dalam mekanismenya pun panjang.
Mekanisme makzulkan Gibran panjang lantaran kata Zaenal tidak serta-merta hanya mengacu pada Pasal 3 UUD 1945 yang mengatur wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden.
Namun, sambungnya, alur mekanisme awal adalah DPR terlebih dahulu mengemukakan pendapatnya terkait alasan pemakzulan, lalu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diputuskan apakah Gibran layak untuk dimakzulkan atau tidak.
“Mekanismenya kan tidak melalui MPR semata. Dia (pemakzulan) harus dimulai dari DPR, lalu DPR menyampaikan hak menyatakan pendapatnya. Lalu akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi akan mengatakan iya atau tidak. Baru kemudian dibawa ke MPR untuk memutuskan di ujungnya,” jelas Zaenal.
Zaenal pun menekankan jika memang pemakzulan ini akan direalisasikan secara konstitusional, maka dia berharap agar DPR mencari perbuatan tercela yang dilakukan Gibran semasa menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
“Saya kira lebih baik DPR memulainya dengan semisal kalau Gibran dianggap memenuhi syarat Wakil Presiden, barangkali sempat heboh-heboh soal ijazah. Silahkan, kalau memang ditemukan bukti kuat soal itu.”
Seperti soal kasus akun Fufufafa itu, tentu harus dicari tahu benarkan akun itu milik Gibran.
“Kalau misalnya miss the maner atau perbuatan tercela, semisal ada konteks (akun) Fufufafa-nya kemarin, betulkah dia yang melakukannya atau tidak,” jelas Zaenal.
Discussion about this post