Suaranusantara.com- Wacana pelantikan Komite Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto memunculkan beragam tanggapan di parlemen. Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menilai langkah tersebut positif, namun mengingatkan agar reformasi Polri tidak berhenti pada tataran simbolik.
Ia menilai pembentukan komite harus menjadi langkah nyata untuk memastikan perubahan yang lebih transparan, akuntabel, dan menghormati hak asasi manusia.
Menurut Andreas, reformasi Polri sejatinya bukan hanya perkara perombakan birokrasi, tetapi perubahan kultur dan tata kelola yang menyentuh akar permasalahan di tubuh kepolisian. Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, terutama kelompok rentan, harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang diambil.
“Reformasi Polri bukan sekadar restrukturisasi birokrasi, tapi perubahan mendasar pada tata kelola dan budaya organisasi. Ini harus memastikan bahwa hak-hak warga negara, terutama kelompok rentan, terlindungi secara nyata,” kata Andreas dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria, di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Rencana Presiden Prabowo untuk membentuk komite beranggotakan sembilan orang ini disebut-sebut sebagai upaya memperkuat arah pembenahan institusi kepolisian.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut mantan Menko Polhukam Mahfud MD termasuk dalam daftar nama yang akan duduk di dalam komite, bersama beberapa mantan Kapolri yang belum disebutkan secara terbuka.
Langkah pembentukan komite ini diharapkan tidak hanya menjadi seremonial politik, melainkan benar-benar mampu mendorong Polri menjadi lembaga yang profesional, terbuka, dan berpihak pada keadilan publik sebagaimana diharapkan oleh masyarakat dan wakil rakyat di parlemen.
Menanggapi hal itu, Andreas menyambut baik keterlibatan sejumlah tokoh independen yang disebut masuk dalam Komite Reformasi Polri seperti Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra dan Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, kehadiran mereka menjadi harapan memperkuat kontrol eksternal terhadap Polri.
“Terutama dalam meninjau praktik operasional dan kebijakan internal yang berdampak pada hak-hak warga negara,” tutur Legislator dari Dapil NTT I itu.
Namun Andreas mengingatkan potensi risiko dari dualisme pengawasan, khususnya dengan hadirnya Tim Transformasi Reformasi Polri yang berisikan 52 perwira kepolisian, mulai dari pelindung sampai anggota.
“Kehadiran perwira aktif dalam tim reformasi berpotensi menimbulkan bias dan mengurangi efektivitas reformasi serta perlindungan hak publik,” ujar Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Lebih jauh, pimpinan Komisi HAM DPR ini menggarisbawahi bahwa reformasi harus menyasar akar persoalan. Seperti, kata Andreas, budaya kekerasan dan dominasi kepolisian dalam proses penyidikan, serta kurangnya mekanisme check and balances yang memadai.
“Transparansi dan akuntabilitas publik harus jadi fondasi utama dalam reformasi ini. Publik berhak tahu bagaimana mekanisme pengawasan dan penindakan pelanggaran anggota Polri berjalan,” ungkapnya.
Andreas juga menegaskan pentingnya profesionalisme Polri agar lembaga ini dapat fokus pada pelayanan publik dan penegakan hukum yang adil.
“Kami mengingatkan pentingnya Polri terlepas dari praktik politik dan militeristik agar dapat benar-benar melayani masyarakat secara profesional,” jelas Andreas.
Andreas pun menegaskan, Komite Reformasi Polri harus berfungsi sebagai instrumen independen yang menjaga hak publik, memastikan keadilan, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
“Keberhasilan reformasi akan diukur dari perlindungan hak asasi manusia, kepastian hukum, dan kepercayaan masyarakat, bukan sekadar laporan formal atau retorika politik semata,” pungkas Andreas
















Discussion about this post