
Gunungsitoli | IndoNias
Ketua Tim Pemenangan Martinus Lase-Kemurnian Zebua (MAKMUR), Herman Jaya Harefa, menyesalkan sikap Polres Nias yang mengembalikan berkas laporannya ke Panwaslih Kota Gunungsitoli. Dia menilai Polres Nias tidak memiliki niat baik dalam memproses kasus dugaan rekayasa surat utang yang dilakukan oleh Sowa’a Laoli.
Menurut Herman Jaya, alasan pihak Polres yang diwakili Kaurbinops Reskrim dan jaksa bahwa dirinya sebagai pelapor sudah mengetahui kasus ini pada tanggal 14 Januari 2016, dilihat dari jawabannya sebagai Ketua DPRD atas kasus yang dilaporkan oleh Darisalim tanggal 28 Desember 2015.
“Atas hal tersebut saya ingin menjelaskan bahwa saya memang telah mengetahui temuan BPK RI Perwakilan Sumut, tetapi laporan saya bukan tentang temuan BPK. Yang saya laporkan adalah surat pernyataan Sowaa Laoli pada tanggal 22 Juli 2015 menyatakan dirinya tidak memiliki utang yang merugikan keuangan negara. Jika surat pernyataan sowaa’a ini dinilai polisi dan jaksa telah saya ketahui pada tanggal 14 Januari 2016, mereka sangat keliru, sebab surat pernyataan tersebut baru keluar dari PN Medan tanggal 15 Januari 2016 melalui balasan surat PN Medan ke calon walikota Bapak Martinus Lase,” papar Herman kepada IndoNias, Senin (15/2/2016).
Jadi dalam hal ini, ujar Herman, jelas terlihat bahwa surat klarifikasi tanggal 14 Januari lebih dulu keluar dan diterima Panwaslih Kota Gunungsitoli, baru kemudian keluar surat Pengadilan Negeri Medan yang menjadi objek dugaan pidana yang dilaporkannya ke Panwaslih tanggal 15 Januari 2016. “Pertanyaannya, bagaimana saya mengetahui kasus tanggal 14 Januari 2016, sedangkan objek laporan pidana yang saya laporkan baru keluar tanggal 15 januari 2016? Ini kan namanya mengarang,” katanya.
Penyidik Polres Nias, lanjut Herman, terkesan pasang badan agar kasus ini tidak disidik. Dirinya sangat sayangkan sikap Kapolres Nias yang tidak on the track dalam penegakan hukum. Dia melihat ada satu kekuatan besar yang diduga mengintervensi Kapolres.
Polres Nias Intervensi Panwaslih?
Herman Jaya Harefa mengatakan, saat rapat Sentra Gakkumdu Minggu, 7 Februari 2016, pihak Polres terkesan sudah mengintervensi kewenangan Divisi Pelanggaran Panwaslih sampai keluarnya berita acara yang menyimpulkan bahwa kasus ditutup karena tidak memenuhi persyaratan formal.
“Yamobaso Giawa sebagai Ketua Divisi Pelanggaran menyatakan bahwa kasus ini telah dikaji dan benar terbukti, tetapi jaksa dan polisi justru mengatakan jika Panwas bertahan, mari kita voting karena kasus ini sudah kadarluarsa. Padahal dalam aturan, jaksa dan polisi tidak punya hak untuk menilai kajian dan kewenangan Panwas. Di sini sangat kental nuansa bahwa kasus itu memang sengaja digelapkan,” ujar Herman.
Herman menilai Sentra Gakkumdu sudah melewati batas kewenangan dalam mengambil keputusan rapat pada tanggal 7 Februari 2016, karena yang boleh dihasilkan dalam rapat pembahasan sebuah kasus berdasarkan surat kesepakatan antara Panwaslih, Polres Nias, dan Kejaksaan tanggal 26 Oktober 2015 pasal 8 adalah:
(1) Ayat 1 yang berbunyi: “dalam hal hasil kajian awal pengawas pemilihan atas laporan dan/atau temuan merupakan dugaan tindak dipidana pemilihan, pelanggaran pidana pemilihan walikota dan wakil walikota Gunungsitoli tahun 2015, maka dilakukan pembahasan.” (Itulah yang dilakukan Sentra Gakkumdu pada 7 Februari 2016).
(2) Ayat 2 yang berbunyi: “pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menghasilkan kesimpulan dapat berupa:
(a). Tindak pidana pemilihan, pelanggaran pemilihan walikota dan wakil walikota Gunungsitoli Tahun 2015 yang memenuhi syarat formil dan materil,
(b). Bukan tindak pidana pemilihan, bukan pelanggaran pidana pemilihan walikota dan wakil walikota Gunungsitoli tahun 2015,
(c). Perbuatan melawan hukum lainnya.
“Jadi sangat jelas dalam rapat Sentra Gakkkumdu hanya boleh menghasilkan tiga kesimpulan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat 2 di atas. Tidak ada aturan bahwa pembahasan Sentra Gakkumdu dapat menghasilkan kesimpulan bahwa kasus tindak pidana pemilihan tidak memenuhi persyaratan formal dan materil,” kata Herman. “Sehingga notulen rapat pada 7 Februari 2016 adalah cacat hukum dan tidak bisa dijadikan (dasar) untuk menutup kasus,” papar Herman.
Herman melanjutkan, Hal janggal lainnya dalam notulen rapat, jaksa menandatangani notulen atas nama Kajari Gunungsitoli, sedangkan Kajari dalam perjanjian bersama adalah pembina, karena seharusnya ditandatangani atas nama Kasipidum selaku ketua pada penuntutan. Tak heran setelah Divisi Pelanggaran mengkaji kembali notulen rapat tersebut, Panwas baru mengetahui bahwa kesimpulan rapat Sentra Gakkumdu salah dan kasus harus dilimpahkan kepada kepolisian.
Herman menilai sikap personil Gakkumdu patut disebut tidak profesional dan ada indikasi konflik kepentingan atas laporan. Dirinya merasa yakin jika Polres Nias jujur dan tidak memiliki kepentingan dalam kasus ini, maka kasus ini akan berjalan.
“Saya sangat menyesali sikap Sentra Gakkumdu yang tidak profesional menempatkan diri sebagai aparat penegak hukum, dan tentu masalah ini akan terus berlarut-larut karena saya tidak akan tinggal diam, saya akan mencari keadilan, walau saya harus katakan harusnya hal ini jangan terjadi. Jika penyidik tetap bertahan tidak memproses kasus ini, terpaksa saya akan bawa kasus ini ke Pihak Propam dan Komnas HAM karena Polres Nias tidak memberikan kepada saya penerapan persamaan hukum sebagai warga negara yang seharusnya diberlakukan sama di hadapan hukum,” tegas Herman.
Herman juga meminta Panwaslih Kota Gunungsitoli untuk mengembalikan berkas itu ke Polres Nias untuk disidik, meski dia merasa ada oknum Komisioner Panwaslih Kota Gunungsitoli juga yang kurang memahami aturan sehingga terkesan dapat dibodohi oleh penyidik yang memiliki tendensi dalam kasus ini. (in/003)