
Jakarta-SuaraNusantara
Sesaat setelah mendarat di Amerika Serikat, Shandra Woworuntu langsung menjadi perbudakan seksual. Dipaksa melayani nafsu seks pria hidung belang, mengkonsumsi obat-obatan dan mengalami kekerasan. Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya, dan Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan, sebelum akhirnya bertemu seseorang yang menghubungkannya dengan FBI. Berikut kisah Shandra Woworuntu sebagaimana dituturkan sendiri olehnya:
Bagi saya, Amerika adalah sebuah tempat yang menjanjikan dan memberikan peluang. Saya tiba di Amerika Serikat pada minggu pertama bulan Juni 2001.
Di bagian kedatangan, saya mendengar nama saya dipanggil, lalu saya melihat seorang pria yang tengah memegang sebuah plakat dengan foto saya. Orang yang memegang plakat itu tersenyum hangat. Namanya Johnny, dan saya menduga ia akan mengantarkan saya ke hotel tempat saya akan bekerja nanti.
Namun belakangan baru saya tahu bahwa hotel itu berada di Chicago, sementara saya tiba di Bandara JFK di New York yang jaraknya hampir 1.250 km! Saya berumur 24 tahun kala itu dan tidak tahu dunia apa yang sedang saya masuki.
Saya tiba di bandara John F. Kennedy bersama empat perempuan lain dan seorang pria, lalu kami dibagi menjadi dua kelompok. Johnny mengambil semua dokumen saya, termasuk paspor, lalu ia membawa saya dan wanita lainnya masuk ke dalam mobil. Dan hanya beberapa jam setelah kedatangan saya di AS, saya sudah dipaksa untuk melakukan hubungan seks.
Selama berminggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, saya dibawa pulang pergi ke rumah bordil yang berbeda-beda, apartemen-apartemen, hotel-hotel dan kasino-kasino di Pantai Timur. Saya jarang berada di tempat yang sama dalam dua hari, dan saya tidak pernah tahu di mana saya berada atau ke mana saya pergi.
Rumah-rumah bordil ini tampak seperti rumah-rumah biasa dari luar dan ada diskotek di dalamnya, dengan lampu kelap-kelip dan musik hingar bingar. Kokain, sabu dan ganja diletakkan di atas meja.
Para bandit itu menyuruh saya mengkonsumsi narkoba di bawah todongan senjata, dan mungkin itu yang membuat saya bisa mengatasi paksaan seksual itu. Siang dan malam, saya hanya minum bir dan wiski karena hanya minuman itu yang ditawarkan. Saya tidak tahu waktu itu bahwa di Amerika ternyata air kerannya bisa diminum.
Selama dua puluh empat jam dalam sehari, kami gadis-gadis, menghabiskan waktu dengan duduk-duduk, dalam keadaan benar-benar telanjang, menunggu para pelanggan. Jika tidak ada yang datang maka kami bisa tidur sebentar, meskipun tidak pernah di ranjang. Tapi ketika pelanggan sepi juga merupakan saat yang digunakan para penyelundup manusia itu untuk memperkosa kami.
Saya selalu patuh, makanya saya tidak pernah dipukuli oleh para mucikari. Tapi para pelanggan sangat kejam. Beberapa dari mereka tampak seperti anggota mafia Asia, tetapi ada juga orang kulit putih, orang hitam, dan orang-orang Hispanik. Ada orang-orang tua dan mahasiswa. Saya adalah milik mereka selama 45 menit dan saya harus melakukan apa yang mereka katakan, kalau tidak mereka akan menyakiti saya.
Apa yang saya alami sungguh berat menyakitkan. Secara fisik, saya lemah. Para mucikari hanya memberi saya makan sup, nasi dan acar, dan saya lebih sering menkonsumsi obat-obatan. Ancaman kekerasan yang terus menerus, dan keharusan tetap waspada, itu juga sangat melelahkan.
Satu-satunya yang menjadi milik saya – di luar ‘seragam’ yang saya kenakan – adalah sebuah tas kecil, yang berisi kamus, sebuah Alkitab kecil, dan beberapa bolpen juga buku-buku permainan yang saya curi dari kamar hotel, dengan nama-nama kasino di dalamnya.
Saya juga menyimpan sebuah buku harian, sesuatu yang saya lakukan sejak saya masih kecil. Saya menulis dalam bahasa campuran Indonesia, Inggris, Jepang dan simbol-simbol. Saya mencoba untuk mencatat apa yang sudah saya lakukan, ke mana saya pergi, berapa orang yang sudah bersama saya, tanggal berapa. Saya melakukannya sebisa mungkin meskipun hal itu sulit karena jika sudah berada di dalam rumah bordil, saya tidak bisa membedakan siang atau malam.
Lalu saya dibawa ke rumah bordil di Brooklyn, tempat saya pertama kali menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Saya bersama seorang gadis Indonesia berumur 15 tahun bernama Nina, dan kami pun menjadi teman.
Pada suatu hari akhirnya saya menemukan sebuah keberuntungan. Saya berhasil kabur dan melarikan diri ke jalan, hanya memakai sandal dan tidak membawa apa-apa kecuali dompet. Saya menoleh ke belakang, dan berteriak pada Nina yang mengikuti saya, tapi sudah ada mucikari yang memegangnya erat-erat.
Saya terus lari dan berhasil mencapai sebuah kantor polisi dan menceritakan semuanya kepada seorang petugas polisi. Tapi ia tidak percaya dan menolak saya. Jauh lebih aman untuk saya, kata dia, jika tanpa uang atau dokumen, untuk kembali ke jalanan.
Saya tak putus asa, mencari lagi dua petugas polisi lainnya di jalan untuk meinta bantuan. Tapi mendapat respon yang sama. Saya kemudian berhasil pergi ke konsulat Indonesia. Saya bermaksud meminta tolong mendapatkan bantuan, termasuk dokumen-dokumen seperti paspor. Saya juga tahu mereka memiliki ruangan bagi orang untuk bisa tidur dalam keadaan darurat. Tetapi mereka juga tidak membantu saya.
Saya marah dan jengkel. Saya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Saat itu tengah menuju musim dingin dan saya kedinginan. Saya terpaksa tidur di stasiun kereta api bawah tanah di New York, Staten Island Ferry, dan di Times Square.
Saya mengemis makanan dari orang-orang yang berlalu lalang, dan setiap ada kesempatan saya menceritakan kisah saya pada mereka, dan saya katakan bahwa ada sebuah rumah di sekitar wilayah itu yang menyekap sejumlah perempuan, dan mereka membutuhkan bantuan.
Hingga pada suatu hari, ketika saya berada di Grand Ferry Park di Williamsburg, seorang pria bernama Eddy membelikan saya makanan. Ia seorang asal Ohio, pelaut yang tengah berlibur. “Kembalilah besok di siang hari,” katanya, setelah saya menceritakan kisah saya.
Saya sangat senang. Jadi esok harinya saya datang lebih pagi ke tempat yang sama di taman itu, dan menunggu datangnya Eddy selama beberapa jam.
Akhirnya ia datang, dan mengatakan sudah menelepon dan berbicara dengan FBI, dan FBI telah menelepon kantor polisi.
Saya menunjukkan buku harian saya kepada mereka dengan rincian lokasi pelacuran, dan buku-buku pemainan dari kasino di mana saya telah dipaksa untuk bekerja.
Kami langsung pergi ke pos polisi. Di sana sudah ada para petugas yang mencoba membantu saya. Mereka menelepon maskapai penerbangan dan imigrasi, dan mereka mengecek laporan saya.
“OK,” kata mereka akhirnya. “Apakah Anda siap untuk pergi?”
“Pergi ke mana?” tanya saya.
“Menjemput teman-teman Anda,” kata mereka.
Lalu saya masuk mobil polisi dan kami melaju ke rumah bordil di Brooklyn itu. Saya lega saya bisa menemukannya lagi.
Rasanya seperti seperti sebuah adegan dalam sebuah film.
Saya bisa mengenali Johnny dan para perempuan yang bekerja di rumah bordil itu tanpa bisa terlihat. Ada tiga perempuan di sana, Nina berada di antara mereka.
Mobil diparkir dan saya melihat ke luar jendela. Di luar rumah bordil, ada polisi yang menyamar berpura-pura menjadi tuna wisma -saya ingat salah satu dari mereka mendorong troli belanja. Kemudian ada banyak detektif, polisi bersenjata dan tim SWAT dan para penembak jitu bersembunyi di dekatnya.
Saat itu saya merasa sangat tegang, dan khawatir jika saat polisi memasuki bangunan itu dan tidak menemukan apapun di sana malam itu, akankah mereka berpikir saya telah berbohong? Akankah saya yang justru akan masuk penjara, dan bukan orang yang menganiaya saya?
Seorang petugas polisi menyamar sebagai pelanggan, memencet bel rumah bordil. Saya melihat Johnny muncul di ambang pintu, dan, setelah berbicara singkat, membuka jeruji logam. Dia langsung dipaksa kembali ke dalam ruang yang gelap. Dalam hitungan detik, seluruh tim polisi sudah berada di anak tangga dan masuk ke dalam rumah itu.
Ketika saya melihat perempuan-perempuan itu keluar, telanjang dan hanya berbalut handuk, itu adalah momen terhebat dalam hidup saya. Dalam kilatan lampu biru dan merah dari mobil-mobil polisi, kami menari, berteriak, menjerit kegirangan!
Johnny ditahan seperti dua orang pria lainnya yang ditangkap pada hari-hari berikutnya. Saya bisa kembali ke keluarga saya di Indonesia, namun FBI memerlukan kesaksian saya untuk menghadapi para sindikat perdagangan manusia. Ternyata prosesnya memakan waktu selama bertahun-tahun.
Di Indonesia, anggota sindikat datang ke rumah ibu saya. Ia dan putri saya harus bersembunyi. Bahaya besar mengancam putri saya, namun akhirnya pemerintah AS dan Safe Horizon mempertemukan kami pada tahun 2004, setelah mengizin-kan putri saya untuk terbang ke Amerika.
Sebagai imbalan karena telah membantu pemerintah, pada tahun 2010 saya diberi izin untuk menetap di Amerika. Tapi meski sudah 15 tahun berlalu, saya masih kesulitan tidur malam. Hubungan dengan pria pun masih jauh dari normal. Saya masih mengunjungi terapis setiap minggu, dan psikiater, setiap dua minggu sekali, dan diberi obat-obat anti-depresan.
Saya sudah memutuskan untuk melakukan semua yang saya bisa untuk membantu para korban perbudakan lainnya. Saya memulainya dengan sebuah organisasi, Mentari, yang membantu korban-korban berbaur ke dalam masyarakat, dan menghubungkan mereka ke pasar kerja.
Pada saat yang sama, kami mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko datang ke AS kepada orang-orang yang masih melihat negara ini sebagai tanah impian, sebab setiap tahun sebanyak 17.000 sampai 19.000 orang dibawa ke AS untuk diperdagangkan.
Saya menuturkan pengalaman saya di gereja-gereja, sekolah-sekolah, universitas dan lembaga-lembaga pemerintah.Pertama kali, usai menceritakan kisah saya, Konsulat Indonesia mendekati saya, bukan untuk meminta maaf, melainkan untuk meminta saya menarik kembali pernyataan saya tentang penolakan mere-ka untuk membantu saya.
Bahkan setelah media memberitakan kasus saya, Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu menghubungi saya, mengecek keadaan saya, apakah baik-baik saja atau membutuhkan bantuan.
Saya masih berteman dekat dengan Nina, yang baru-baru ini menginjak usia ke 30. Dan selama bertahun-tahun, saya memiliki nomor telepon Eddy, orang yang melapor kepada FBI atas nama saya, ketika saya putus asa.
Pada tahun 2014, sekitar hari Natal, saya memutar nomor telepon Eddy.
Saya bermaksud bercerita tentang semua yang telah terjadi pada saya, tapi ia memotong omongan saya dan mengatakan, “Saya tahu semua. Saya mengikuti berita-beritanya. Saya sangat senang, Anda telah berhasil.”
Lalu ia berkata, “Tidak usah mengucapkan terima kasih pada saya. Anda sendiri yang telah melakukan semuanya itu.” (eka)