SuaraNusantara.com – Calon Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, mengangkat isu permasalahan pangan dalam acara bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Djakarta Theater, Jakarta Pusat. Dalam pembahasannya, Prabowo menyentuh pengelolaan pangan pada masa pemerintahan Soeharto, khususnya peran Bulog dalam mengendalikan harga pangan.
Menurut Prabowo, selama era Soeharto, Bulog berhasil menjalankan operasi pengendalian harga dengan baik, menjaga harga petani sementara melindungi konsumen di kota. Namun, keberhasilan ini diklaim sirna setelah Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) bersama International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1998.
“Kalau harga petani kurang baik dikendalikan, tapi konsumen di kota dijaga. Tapi waktu itu kita menyerah pada IMF,” ujar Prabowo.
Baca Juga:Â Panduan Lengkap Budidaya Belut untuk Pemula: Modal Ringan, Keuntungan Besar
Analisis menyebutkan bahwa semasa Orde Baru, Bulog berperan sebagai penyangga pasokan dan harga kebutuhan pangan nasional. Namun, krisis moneter 1997/1998 mengubah peran Bulog setelah Indonesia mendaftarkan diri menjadi pasien IMF atas desakan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang.
Letter of Intent (LoI) ditandatangani pada 15 Januari 1998, dan paket pemulihan ekonomi IMF melibatkan pengetatan sektor moneter, pembenahan bank, dan pengetatan fiskal. Sayangnya, paket ekonomi ini tidak sesuai dengan kondisi Indonesia dan malah memperburuk krisis ekonomi dan politik.
Dalam sektor pangan, IMF mengubah peran Bulog melalui dua Keppres. Pertama, Keppres No.45 tahun 1997 membatasi tugas Bulog hanya pada beras dan gula. Kedua, Keppres No. 19 tahun 1998 memangkas tugas Bulog menjadi hanya pengelola beras. Pemretelan tugas Bulog ini dituding menjadi salah satu penyebab keterpurukan sektor pangan di Indonesia setelahnya. (Alief)
Discussion about this post