Suaranusantara.com- Pasangan calon (paslon) gubernur nomor urut 1 di Pilkada Jakarta 2024, Ridwan Kamil-Suswono tengah menelan rasa kekecewaan, pasalnya mereka dalam perhitungan suara cepat atau quick count kalah suara dari rivalnya.
Ridwan Kamil-Suswono berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei mendapat perolehan suara yang cukup jauh dari rivalnya Pramono Anung-Rano Karno.
Ridwan Kamil-Suswoni hanya memperoleh suara 40,02 persen, sementara itu Pramono Anung-Rano Karno mendapat 49,49 persen.
Sebagai informasi, quick count bukanlah hasil resmi melainkan hanya gambaran usai pencoblosan Pilkada Jakarta 2024.
Quick count diumumkan dua jam usai pencoblosan Pilkada Jakarta 2024 berlangsung pada Rabu 27 November.
Adapun hasil resmi adalah real count yang dilakukan oleh KPUD DKI Jakarta.
Lantas apa penyebab Ridwan Kamil-Suswono kalah oleh rivalnya itu?
Ridwan Kamil-Suswono sendiri didukung oleh banyak partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs, A Khoirul Umam mengindikasikan bahwa basis mesin politik KIM Plus tidak solid.
“Kekompakkan KIM Plus bak kawin paksa, dimana aspirasi kepentingan partai-partai pengusung tampaknya kurang terakomodasi,” kata Umam pada Kamis 28 November 2024.
Akibatnya meskipun diawali dengan optimisme yang tinggi, Umam menyebut mesin politik RIDO akhirnya melempem jelang pencoblosan.
Senada dengan Umam, pengamat politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional Lili Romli menelaah kekalahan Ridwan Kamil-Suswono meskipun sudah didukung KIM Plus.
Romli juga menilai bahwa parpol KIM tidak berjalan sendirian dalam Pilkada Jakarta 2024.
“Meskipun koalisi KIM Plus itu banyak yang mendukung RK-Suswono, tapi yang terjadi adalah partai-partai politik yang tergabung dalam KIm Plus itu nggak berjalan mesin politiknya. Dibiarkan sendiri berjalan RK-Suswono”.
Selain itu, kata Romli, figur Ridwan Kamil-Suswono saat kampanye menuai pro dan kontra dalam memberikan pernyataan.
Sisi lain adalah figurnya ini kontraproduktif di dalam kampanye-kampanyenya. Sebelumnya ada resistensi akibat cuitan masa lalu RK yang membuat warga Jakarta menolak kehadiran RK itu,” ujarnya dikutip dari VOA Indonesia.
Sementara pasangan Pramono Anung-Rano Karno bisa melaju karena figur keduanya dan mesin politik yang mendukungnya berjalan beriringan.
Terlebih setelah mendapat limpahan dukungan dari Anies Baswedan dan Ahok.
Penyebab berikutnya adalah menurut Politikus DPP PKS Mardani Ali Sera mengakui kalau adanya kerja yang kurang optimal di dalam kubu koalisi Ridwan Kamil-Suswono.
Padahal kata dia, koalisi di kubu Ridwan Kamil-Suswono cukup besar dan dihuni oleh belasan parpol besar.
“Kami percaya partai 14 atau 16 yang Dukung itu bagus-bagus semua, Tapi kemarin nampaknya belum optimal,” kata Mardani kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Kata Ali apabila Pilkada Jakarta 2024 berlangsung dua putaran, maka diharapkan kubu RIDO dapat lebih solid lagi.
“Kalau terjadi putaran 2. Satu, kalau kami (PKS) sederhana, kita itu punya partai yang demikian banyak dan demikian bagus,” ucap dia.
Salah satu yang digarisbawahi oleh Mardani yakni soal amunisi untuk para partai politik yang ada di kubu RK-Suswono.
Dirinya menyatakan, sejatinya banyak partai yang kehabisan amunisi termasuk PKS karena gelaran Pilkada yang tidak jauh dari Pilpres dan Pileg.
“Nah nanti harus betul-betul semua partai diberikan amunisi. Jujur semua partai abis, Pileg Pilpres kemarin tuh kalau tanya saya, duit saya abis, karena Pileg kemarin itu baru, dan kita belum ada resesnya,” ucap dia.
Kata Ali nantinya seluruh anggota partai haruslah mengoptimalkan kerja.
“Nah jadi yang pertama, optimalkan semua anggota partai yang ada. Nah yang kedua relawan relawan tuh bagus-bagus, kemarin tuh belum optimal,” tukas Mardani.
Kemudian penyebab kekalahan adalah literasi suara pemilih. Sebab kata Umam dari sisi pemilih para pemilih di Jakarta cenderung relatif jauh lebih memiliki literasi politik yang lebih baik, sekaligus lebih pragmatis.
“Sehingga masyarakat DKI relatif paling mudah berubah-ubah pilihannya, sesuai basis isu dan narasi yang berkembang,” kata dia.
Di sisi lain, Umam menilai Pramono-Rano terlihat lebih disiplin dalam kampanye lapangan maupun narasi.
“Di saat yang sama, kedekatan Pramono-Rano dengan Anies yang menjadi simbol perlawanan terbuka pada kekuatan politik yang mengorkestrasi dominasi peta politik Jakarta, mampu mengkonsolidasikan basis pemilih loyal Anies untuk mendukung Pramono-Rano, yang mana banyak di antara mereka beririsan dengan basis pemilih loyal PKS,” kata dia.
Kondisi tersebut, dikatakan Umam, ditambah dengan kedekatan Pramono secara pribadi dengan Jokowi maupun dengan Prabowo sehingga sel-sel politik keduanya juga tampaknya tidak dilepas untuk menghancurkan pilar-pilar politik Pramono.
“Hal ini menegaskan bahwa strategi Ketum PDIP Megawati untuk memasang Pramono di Jakarta sangatlah tepat, di mana pemegang remot kekuasaan bisa dibuat gamang untuk menghabisi calon dari PDIP yang dikeroyok ramai-ramai, mengingat kedekatan personal mereka selama ini,” kata dia.
Lalu penyebab kekalahan berikut adalah soal narasi kampanye yang diberikan Ridwan Kamil-Suswono dinilai melecehkan.
Umam juga mengatakan dalam teknis dan narasi kampanye yang pendek ini, terjadinya slip of tounge Suswono tentang “janda” yang berhasil dipolitisir lawan dengan argumen teologis, mengindikasikan paslon tersebut kurang disiplin.
“Belum lagi materi-materi kampanye Ridwan Kamil di fase awal didominasi oleh materi-materi gimik, layaknya Mobil Curhat, bantuan kopi untuk yang terkena PHK, yang mana model-model semacam ini sebelumnya berhasil digunakan di politik Bandung dan Jawa Barat, kini ternyata tidak mempan dijual di masyarakat Jakarta,” kata Umam.
Discussion about this post