Jakarta-SuaraNusantara
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Samuel Pangerapan, meminta pihak-pihak yang tidak setuju dengan hasil revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menunggu keterangan lebih detail yang akan dituangkan ke dalam PP.
“Kasus-kasus apa saja dan bagaimana mekanismenya itu diatur dalam PP. Kami akan undang berbagai pihak untuk mendapat masukan,” kata Samuel kepada wartawan di Gedung Kemkominfo, Jakarta, Selasa (28/11/2016).
Salah satu klausa yang diatur dalam revisi undang-undang tersebut adalah ‘hak untuk dilupakan’. Samuel menyebut ‘hak untuk dilupakan’ tidak serta-merta diberikan bagi mereka yang mengajukan. Satu hal yang pasti, katanya, hak tersebut harus diuji melalui proses hukum di pengadilan sesuai amanat UU.
Menurut Samuel, ada beberapa kasus di mana terdakwa dinyatakan tak bersalah dan diberi hak rehabilitasi oleh pengadilan. Namun, tak seperti di Eropa yang mencetuskan aturan hak untuk dilupakan pertama kali, pemerintah mengaku masih minim pemahaman dalam merinci detail pelaksanaannya. Karena itu Kemkominfo memastikan ‘hak untuk dilupakan’ belum ‘ bisa berjalan efektif selama PP belum terbentuk.
“Ini masih diskusi terbuka tapi saya melihat niat yang baik dari pemerintah dan DPR bahwa ini perlu ada,” ujar Samuel.
Revisi Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) resmi diberlakukan hari Senin (28/11/2016). Sejumlah poin krusial sempat menjadi sorotan lantaran substansi dari pasal tertentu yang termaktub dalam UU ITE dianggap sebagai ‘pasal karet’ alias tidak jelas tolok ukurnya.
Salah satu dari sekian banyak poin regulasi yang menjadi sorotan adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses” yang termuat dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE memang tidak diubah. Namun ada penambahan penjelasan bahwa pasal tersebut dikategorikan sebagai delik aduan.
Unsur pidana pada pasal tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah sebagaimana yang selama ini telah diatur dalam KUHP.
Sejumlah kalangan menyikapi revisi UU ITE tersebut secara lebih kritis. Selain dianggap membatasi kebebasan berdemokrasi, aturan yang mengatur soal pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE juga dianggap berbenturan dengan regulasi yang sudah diatur dalam KUHP.
Regulasi soal pencemaran nama baik dalam UU ITE dianggap perlu diatur secara merinci dan tidak bersifat karet di KUHP agar tidak menimbulkan multitafsir yang berpotensi penyalahgunaan undang-undang untuk mengekang kebebasan berekspresi.
Dari sekian orang yang pernah berurusan dengan UU ITE, Buni Yani adalah salah satu contoh pengguna media sosial paling anyar yang kena jeratan UU ITE. Dia menjadi sorotan khalayak luas karena hasil penyebaran informasi yang dia unggah di media sosial berujung pada kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Gubernur nonaktif DKI Jakarta Ahok Tjahaja Purnama, alias Ahok.
Video yang diunggah Buni Yani memuat pernyataan Ahok menyitir Surat Al Maidah ayat 51. Setelah Ahok jadi tersangka penista agama, kasus pun menjadi blunder bagi Buni Yani. Dia kena jeratan sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa rasa kebencian berdasarkan SARA.
Buni Yani dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan informasi menyesatkan. (arman)