
Jakarta-SuaraNusantara
Kelompok yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS semula melarang keterlibatan perempuan sebagai kombatan atau mujahidah dengan alasan tertentu. Namun menurutnya, larangan itu sudah dihapus sejak Juli 2016 lalu.
“Tetapi dengan perang dan keadaan darurat, kelihatannya larangan itu sudah dihapus. Asal ada izin suami, kalau sudah suami-istri, atau dari muhrimnya, saya kira mereka diberi lampu hijau,” kata pengamat terorisme asal Australia, Sidney Jones, sebagaimana dilansir BBC Indonesia, Minggu (11/12/2016) sore kemarin.
Pelibatan kaum perempuan dalam serangan bom bunuh diri di Indonesia, menurut Sidney, sudah diperkirakan lama berdasarkan temuan “diskusi antara ekstremis perempuan di telegram”.
“Sudah jelas bahwa mereka (kaum perempuan yang teradikalisasi) mau peranan lebih aktif, tidak puas menjadi istri atau ibu saja,” ungkapnya.
Dia juga memperkirakan pelibatan kaum perempuan sebagai kombatan sudah lama “digerakkan ekstremis”, tetapi baru kali ini ada calon pelaku bom bunuh diri berjenis perempuan di Indonesia.
“Saya kira tidak (ada calon pengebom bunuh diri sebelumnya dalam kasus terorisme di Indonesia). Ini pertama kali,” kata Sidney.
Sementara pengamat terorisme dan mantan Kepala Badan nasional penanggulangan terorisme (BNPT), Ansyad Mbai mengatakan, pilihan menggunakan kaum perempuan dalam aksi bom bunuh diri karena alasan ‘taktis’.
“Penyamarannya lebih bagus, apalagi berbusana seperti orang Arab. Gampang sekali menyembunyikan bom di dalam badannya,” kata Ansyad Mbai, Minggu (11/12/2016) sore, dilansir BBC Indonesia.
“Dan biasanya petugas agak lengah, kendur, kalau (menghadapi) perempuan, pemeriksaan di pintu-pintu masuk lebih kendur,” jelasnya, menganalisa.
Menurutnya, pelibatan kaum perempuan dalam kasus-kasus serangan bom di Indonesia sudah pernah terjadi.
“Ada rencana untuk menjadikan ‘pengantin’ (istilah untuk pelaku bom bunuh diri yang sempat muncul di kalangan terduga terorisme) dari kalangan perempuan, tapi belum sampai sejauh persiapan sekarang ini,” ungkap Ansyad Mbai.
Mengapa Istana Negara Jadi Sasaran?
Polisi sejauh ini belum bisa memastikan informasi yang menyebutkan bahwa rencana serangan bom bunuh diri itu diarahkan ke Istana Kepresidenan. Polisi belakangan hanya menyebut serangan itu menargetkan objek vital.
Tetapi, menurut Ansyad Mbai, apabila informasi itu nantinya terbukti, maka rencana serangan ke istana itu menunjukkan bahwa “kualitas ancaman teror itu sudah meningkat”.
“Karena semua orang tahu Istana itu tempatnya presiden tinggal, tempatnya bekerja, berkantor di situ,” kata Ansyad. Apalagi bomnya berdaya ledak tinggi, tambahnya.
Menurutnya, pelaku menargetkan serangan ke Istana Kepresidenan untuk mengirimkan pesan yang “sangat kuat sekali” yaitu “kalau mereka sampai lolos meledakkan (bom) di Istana, mereka mengirim pesan bahwa mereka bisa menaklukkan bangsa ini.”
Apalagi, lanjutnya, ancaman serangan itu direncanakan saat pergantian giliran jaga pasukan pengaman presiden (Paspampres).
“Ya justru dalam prosesi (saat pergantian giliran jaga pasukan pengaman presiden) itu simbol kesiapan aparat di situ. Justru itu yang mereka targetkan,” katanya lebih lanjut.

Kiriman Uang dari Bahrum Naim
Dalam jumpa pers Minggu (11/12/2016) siang, juru bicara Polri, Kombes Pol. Awi Setiyono mengatakan komplotan perencana serangan bom bunuh diri tersebut merupakan bagian kelompok Bahrun Naim, pentolan ISIS Indonesia yang diduga kini berada di Suriah.
Hal ini antara lain didasarkan hasil pemeriksaan terhadap empat orang terduga serta temuan barang bukti seperti telegram percakapan salah-seorang terduga, DYN, dengan Bahrun Naim.
“Yang bersangkutan (DYN) intensif berkomunikasi dengan BN (Bahrun Naim). Yang bersangkutan juga menerima uang dari BN sebesar Rp1 juta melalui tersangka NS untuk hidup sehari-hari di kontrakan,” kata Awi.
Seperti diketahui, selain menangkap DYN, polisi telah menangkap dua orang di Bekasi, yaitu NS dan AS, serta S yang ditangkap di Karanganyar, Jawa Tengah.
Saat ini tim Densus 88 sedang memburu dua orang buronan lainnya yang diduga terkait kelompok ini.
Menurut pengamat terorisme Ansyad Mbai, terungkapnya rencana serangan bom bunuh diri menunjukkan bahwa kekuatan pengaruh ISIS melalui sosok Bahrun Naim di Indonesia menyebar dalam sel-sel kecil.
Medsos Berperan Sebar Radikalisasi
Penyebaran melalui sel-sel kecil ini, kata Ansyad, dilakukan setelah organisasi Jamaah Islamiyah dan organisasi lainnya berhasil ditekan aparat kepolisian.
“Tapi kiblat, figur ideologi mereka, tetap yang lama di Jamaah Islamiyah dan Jamaah Anshorut Tauhid pimpinan Abu Bakar Baasyir dan Aman Abdurrahman.
Melalui kehadiran ISIS, lanjutnya, maka sel-sel kecil tersebut berkiblat kepada pimpinan ISIS di Irak yaitu Abubakar al-Baghdadi.
“Dan figur-figur lama di Indonesia pun menyerukan kepada mereka untuk bergabung ke sana (ISIS). Bagi yang tidak mampu diserukan berjihad di dalam negeri,” kata Ansyad.
Berbeda dengan pola rekrutmen lama yang berdasarkan latar pendidikan yang sama atau hubungan keluarga, belakangan pola perekrutan itu bisa melalui media sosial.
“Bukan hanya merekrut, termasuk memberikan doktrin paham radikal itu sehingga setiap orang yang tidak ada hubungan bisa saja dia meradikalisasi dirinya, self radicalised yang disebut lone wolf,” paparnya.
Sementara, pengamat terorisme Sidney Jones mengatakan, penangkapan empat terduga teroris ini membuktikan bahwa Bahrun Naim “masih berperan.”
“Saya belum tahu persis peranannya dia apa, tapi melalui sosmed dan jaringannya – di Solo maupun Jakarta – dia sudah berhasil mendorong banyak orang untuk mencoba melakukan amaliyah atau aksi jihad,” kata Sidney.
“Jadi,” lanjutnya, “Saya kira masalah terorisme masih jauh dari habis di Indonesia”.
Sementara menurut pengamat politik Rinaldi Hasan Basri, maraknya terorisme di tanah air tak lepas dari kelemahan perangkat pemerintah sendiri, terutama pengadilan. Bukan rahasia lagi bila para pelaku teror di Indonesia banyak yang tidak tersentuh hukum, sebagian lagi dipenjara hanya dalam waktu singkat.
“Akibatnya, begitu mereka bebas, mereka langsung menebar teror lagi. Contohnya pelaku pelemparan bom molotov ke gereja di Kalimantan yang menyebabkan seorang balita tewas, lalu ya Bahrum Naim ini. Mereka kan hukumannya ringan sekali, hanya beberapa tahun saja. Di Amerika, yang seperti ini bisa dihukum mati atau seumur hidup. Di negeri kita, cukup 2-3 tahun saja. Ya salah sendirilah,” katanya. (arman)