Suaranusantara.com- Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan permasalahan terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) baru yang resmi disahkan pada Kamis 20 Maret 2025 lalu.
Menurut pandangan CSIS, UU TNI baru dalam pengesahannya dinilai kurang transparan serta minim melibatkan publik.
Hal ini disampaikan oleh para peneliti CSIS dalam Media Briefing berjudul ‘Catatan Pasca-Pengesahan Revisi UU TNI’ pada Senin 24 Maret 2025.CSIS menyampaikan sejumlah catatan penting.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes menjelaskan bahwa UU TNI baru memiliki tiga masalah mulai dari proses pembahasan hingga pengesahan.
“Terdapat tiga aspek permasalahan, aspek pertama bahwa proses pembahasan dan pengesahan UU ini menunjukkan adanya proses yang kurang transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat aktif dan bermakna,” kata Arya Fernandez.
Menurut Arya, dalam proses pengesahan UU TNI baru lebih berat ke eksekutif. Padahal, seharusnya porsi antara legislatif dan eksekutif harus setara.
“Prosesnya sangat berat di sisi eksekutifnya, padahal dalam prosesnya eksekutif dan legislatif memiliki kekuasaan legislasi yang setara, 50% eksekutif dan 50% legislatif,” lanjutnya.
Selain itu, Arya menilai DPR belum konsisten dalam melaksanakan muatan-muatan penting, terutama dalam prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan.
Senada dengan Arya, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Nicky Fahrizal menegaskan bahwa proses pengesahan UU TNI baru tersebut merupakan bentuk militerisasi terhadap pemerintahan Indonesia.
“Apa yang terjadi di revisi UU TNI saat ini bukan militerisme, tetapi militerisasi. Militerisasi adalah proses atau tindakan memperbesar peran militer sehingga ada peningkatan kendali militer dalam suatu dimensi area atau institusi sipil tertentu,” katanya.
Dia mencontohkan militerisasi ini terkandung dalam pasal 7 mengenai OMSP, pasal 8 yang memperluas wilayah tugas TNI AD, pasal 47 yang menambah ruang jabatan sipil untuk TNI aktif, dan pasal 53 yang memperpanjang masa kerja TNI.
Hal senada juga disampaikan Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS, Pieter Pandie. Dia mengatakan militerisasi ini menyebabkan ketidakjelasan dan tumpang tindih kewenangan.
“Penambahan peran baru, yaitu siber dan perlindungan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri yang saya sebut sebelumnya, kalau tidak diperjelas justru membuka ruang kebingungan dan konflik antarlembaga. Pelibatan TNI juga dalam pandangan saya, itu berisiko membuat penanganan isu siber ini menjadi top-down dari yang sekarang sudah ada dan lebih securitize,” ujar Pandie.
Discussion about this post