Suaranusantara.com- Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) baru menuai gelombang penolakan dari masyarakat dan mahasiswa usai disahkan pada Kamis 20 Maret 2025 lalu.
Bahkan penolakan tersebut berujung membuat sebanyak tujuh orang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mengajukan gugatan terhadap UU TNI baru ke Mahkamah Konstitusi (MK) terpantau dari situs MK pada Sabtu 22 Maret 2025.
Adapun gugatan terdaftar pada nomor 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025. Artinya, 2 hari setelah disahkan atau pada Sabtu, UU TNI itu langsung digugat ke MK.
“Permohonan Pengujian Formil Undang-Undang Nomor … Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,” bunyi pokok perkara gugatan tersebut dikutip pada Selasa 25 Maret 2025.
Adapun tujuh pemohon yang menggugat UU TNU baru di antaranya, Muhammad Alif Ramadhan (Pemohon I), Namoradiarta Siaahan (Pemohon II), Kelvin Oktariano (Pemohon III), M. Nurrobby Fatih (Pemohon IV), Nicholas Indra Cyrill Kataren (Pemohon V), Mohammad Syaddad Sumartadinata (Pemohon VI), dan R.Yuniar A. Alpandi (Pemohon VII
Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa mengaku tak mempermasalahkan bila UU TNI digugat ke MK.
Menurut dia, dalam sistem demokrasi, ada mekanisme hukum yang bisa ditempuh bagi pihak yang tidak puas dengan hasil legislasi.
Saan mengingatkan bahwa bagi pihak yang menolak atau tidak puas dengan RUU yang sudah ditetapkan, selalu ada jalur hukum yang bisa ditempuh. Salah satu mekanisme yang tersedia adalah judicial review ke MK
“Jika ada kelompok masyarakat yang keberatan, mereka bisa mengajukan judicial review ke MK. Itu adalah hak konstitusional yang kami hormati. DPR tidak menutup ruang bagi siapa pun yang ingin mengoreksi atau menguji undang-undang ini di ranah hukum,” kata Saan dalam keterangannya, Senin 24 Maret 2025.
Politikus Partai Nasdem itu memastikan seluruh proses legislasi dilakukan dengan tetap membuka ruang partisipasi publik.
Saan menjelaskan, pembahasan revisi UU TNI telah dilakukan melalui berbagai mekanisme, termasuk konsultasi dengan akademisi, pakar hukum, serta organisasi masyarakat sipil.
Selain itu, pembahasan tidak dilakukan secara terburu-buru, melainkan sudah diajukan sejak lama dan melewati berbagai tahapan.
“Banyak undang-undang yang dibahas secara maraton, bukan hanya ini saja. Prosesnya panjang, partisipasi publik tetap dibuka, dan kami berdiskusi dengan banyak pihak, termasuk akademisi dan masyarakat sipil. Jadi, tidak ada yang namanya terburu-buru,” katanya.
Dengan adanya perdebatan ini, DPR tetap menegaskan bahwa mereka tidak akan mengembalikan dwifungsi ABRI.
Komitmen terhadap supremasi sipil dan profesionalisme TNI tetap menjadi prioritas utama dalam setiap pembahasan regulasi terkait militer.
“Yang paling penting, TNI tetap profesional dan fokus di bidang pertahanan. Kami di DPR tetap berkomitmen menjaga supremasi sipil dan prinsip demokrasi yang telah kita bangun bersama,” katanya.
Discussion about this post