Suaranusantara.com- Pemerintah melalui Menteri Hukum Supratman Andi Atgas angkat bicara soal Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan mengabulkan permohonan atas empat orang mahasiswa dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) atau Presidential Threshold pada Kamis 2 Januari 2025.
MK memutuskan menghapus Presidential Threshold yang diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dengan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 tentang Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Empat orang mahasiswa itu di antaranya Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirl Fatna.
MK mengabulkan permohonan penghapusan Presidential Threshold dikarenakan pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan pada Kamis 2 Januari 2025.
Menteri Hukum yang juga politikus Partai Gerindra, Supratman Andi Atgas angkat bicara soal putusan MK tersebut.
Supratman mengatakan bahwa pemerintah saat ini tengah berkoordinasi terkait putusan MK tersebut.
Supratman mengaku belum membaca lengkap soal putusan MK yang menghapus Presidential Threshold itu.
“Di lain sisi nanti pemerintah tentu juga akan berkoordinasi terkait hal tersebut, karena saya belum membaca lengkap,” kata Supratman saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Namun pemerintah, kata Supratman tetap menghormati putusan MK itu sebab bersifat final dan mengikat.
MK kata Supartman biasanya sudah menentukan waktu berlakunya putusan. Namun untuk putusan menghapus Presidential Threshold itu MK belum menentukan waktunya.
Supratman mengatakan pemerintah tidak mempersoalkan isi putusan tersebut, tetapi hanya melihat saat ini MK benar-benar menghapus presidential threshold, berbeda dengan putusan sebelumnya yang menurunkan ambang batas.
Lantaran keputusan ini sudah bersifat final dan mengikat, maka pemerintah akan mengkaji.
“Tapi apa pun putusan MK karena sifatnya final dan mengikat, kami akan mengkaji, melakukan kajian kapan mulai berlakunya. Nah MK saya lihat belum memutuskan itu,” tuturnya.
Karena itu, Supratman menuturkan Kementerian Hukum (Kemenkum) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengomunikasikan putusan MK itu dengan penyelenggara pemilihan umum.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga akan membahas putusan tersebut dalam perubahan Undang-Undang (UU) Pemilu.
Sebab, kata dia, pada akhirnya apabila putusan itu berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, maka akan ada suatu perubahan UU maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), sehingga semuanya akan
Mengenai dampak putusan MK itu, dia mengaku belum bisa mengatakan apakah putusan itu akan berdampak positif atau tidak karena setiap putusan yang diambil pasti akan memiliki dampak terhadap proses demokratisasi.
“Tetapi secara umum pemerintah, terutama Kemenkum, menganggap putusan itu harus kami hormati, pemerintah dalam posisi menghargai putusan tersebut,” ucap mantan Ketua Badan Legislasi DPR itu.
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto mengatakan terkait putusan MK itu, maka revisi UU Pemilu dan Pilkada dalam undang-undang sapu jagat atau omnibus law politik akan merujuk putusan MK tentang presidential threshold.
“Proses revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada pun pembahasannya harus merujuk kepada semangat putusan MK ini. Misalnya, termasuk dengan syarat threshold (ambang batas) pencalonan bagi kepala daerah, pemilihan langsung atau melalui DPRD,” kata Bima saat dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah akan berkomunikasi dengan Komisi II DPR RI mengenai putusan MK itu.
“Iya, kan memang kami akan segera mulai pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada,” ujarnya.
Discussion about this post