Suaranusantara.com- Akhir-akhir ini di kota-kota besar muncul fenomena gerakan ‘Adili Jokowi’. Fenomena ini muncul lantaran rakyat semakin hari semakin menderita, terlebih pemerintah Presiden RI Prabowo Subianto melakukan efisiensi anggaran terhadap sejumlah kementerian, lembaga dan mitra.
Gerakan ‘Adili Jokowi’ ini meminta agar pemerintah Prabowo dapat mengadili Presiden ke 7 RI itu. Sebab, Jokowi dinilai menjadi biang keladi dari efisiensi yang kini dilakukan pemerintah Prabowo.
Diketahui, Prabowo melakukan di sejumlah kementerian, lembaga dan mitra yang berdampak negatif.
Orang-orang yang bekerja di sejumlah kementerian, lembaga dan mitra yang terkena kebijakan itu mau tidak mau diputus hubungan kerjanya alias PHK.
Efisiensi anggaran yang dilakukan Prabowo adalah bertujuan untuk menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan (Jaksel), Deodatus Sunda Se atau akrab disapa Bung Dendy mengatakan fenomena ‘Adili Jokowi’ muncul lantaran MBG membutuhkan anggaran yang besar.
“Maka dari itu, fenomena ‘Adili Jokowi’ ini muncul
Program MBG (Makan Bergizi Gratis) membutuhkan anggaran sebesar 71-100 triliun per tahun,” ujar Bung Dendy dalam keterangan yang diterima oleh tim Suaranusantara.com Jumat 14 Februari 2025.
Kata Bung Dendy, melihat anggaran sebesar itu, maka terjadi ketimpangan dengan realitas anggaran.
“Namun, realitas anggaran yang ada justru menunjukkan ketimpangan dan ketidakefisienan dalam pengelolaan dana publik,” sambungnya.
Bung Dendy pun mengutip pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebutkan bahwa tot anggaran bantuan sosial (bansos) ternyata tidak tepat sasaran.
“Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa dari total anggaran bansos (bantuan sosial) sebesar Rp 500 triliun, hanya separuh yang benar-benar diterima dan tepat sasaran,” lanjutnya.
Bung Dendy berujar, anggaran tersebut digunakan pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), namun penggunaannya dilakukan tanpa sepengetahuan Kementerian Sosial (Kemensos).
Adanya anggaran yang salah sasaran, maka berimbas pada masa pemerintahan sekarang yang membuat Prabowo mau tidak mau melakukan efisiensi anggaran.
Akibat dari efisiensi anggaran inilah membuat banyak orang yang bekerja di sejumlah kementerian, lembaga dan mitra yang terkena kebijakan tersebut harus PHK.
“Artinya, Rp 500 triliun yang dikatakan Luhut sebagai anggaran yang salah sasaran seharusnya bisa dialokasikan untuk program MBG di masa pemerintahan Prabowo Subianto selama lima tahun tanpa perlu melakukan efisiensi atau pemotongan anggaran. Namun, karena ketidakefisienan tersebut, pemerintah terpaksa melakukan pemotongan anggaran yang berujung pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dampak negatif lainnya.
Hubungan antara program MBG dan efisiensi anggaran ini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan rezim sebelumnya, yaitu pemerintahan Jokowi, yang dianggap menggunakan anggaran untuk kepentingan keluarga dan kroninya.
Akibatnya, pemerintah Indonesia saat ini mengalami kekurangan anggaran, dan rakyatlah yang harus menanggung beban tersebut.
Contoh nyata adalah pemangkasan anggaran pendidikan, yang membuat anak-anak dari keluarga miskin, terutama kaum buruh dan rakyat miskin perkotaan, kesulitan mengakses pendidikan.
Ditambah lagi, dampak efisiensi ini memicu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di tengah situasi krisis ekonomi.
Sementara itu, praktik pejabat dalam kehidupan sehari-hari justru mempertontonkan kemewahan, sementara rakyat mengalami kelaparan, PHK, dan putus sekolah.
Lebih lanjut, pemerintah Prabowo dalam 100 hari kerjanya dinilai tidak memperhatikan nasib dan kesengsaraan rakyatnya.
Gerakan “ADILIJOKOWI” muncul sebagai respons atas kesengsaraan dan ketidakadilan yang dipraktikkan oleh Jokowi dan kroninya, yang dianggap hanya mengabdi pada kepentingan oligarki.
Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi selama ini.
Bung Dendy mengatakan dengan melihat hal-hal tersebut di atas, maka menjadi gambaran terkait pentingnya dalam mengelola anggaran.
“Dengan demikian, tulisan ini menggambarkan betapa pentingnya pengelolaan anggaran yang transparan dan tepat sasaran untuk mencegah ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin parah.
Warisan utang Jokowi yang mencapai Rp 8.500 triliun menjadi beban berat bagi pemerintah saat ini dan rakyat, sehingga tuntutan untuk #AdiliJokowi semakin menguat sebagai upaya memperjuangkan keadilan bagi rakyat.
Discussion about this post