
Jakarta-SuaraNusantara
Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring membacakan doa dalam Sidang Tahunan MPR. Dalam doanya, dia meminta agar Presiden Joko Widodo digemukkan badannya.
“Ya Allah, beri petunjuk para pemimpin kami, bimbinglah agar istiqomah berada di jalan lurus. Berilah petunjuk kepada Presiden Joko Widodo. Gemukkan lah badan beliau Ya Allah karena kini terlihat semakin kurus. Padahal tekad beliau dalam membangun bangsa dan negara ini tetap membara,” kata Tifatul dalam penutupan rangkaian acara Rapat Tahunan MPR RI dan Pidato Kepresidenan di Ruang Paripurna Utama, Gedung Nusantara, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2017).
Menanggapi doa tersebut, pengamat politik Joko Handono, memberikan tanggapannya. “Meski terdengar mendukung Jokowi, namun secara tersirat sebenarnya ada unsur pelecehan dalam doa tersebut,” ujar Joko Handono, di Jakarta, Selasa (16/8/2017)
Joko yang alumni FISIP Universitas Nasional (Unas) dan kini menjabat Direktur Kelompok Kajian Politik Indonesia ini menilai, dalam kalimat doa yang diucapkan Tifatul Sembiring tersebut, Jokowi seolah dikesankan belum berada di jalan yang lurus, sampai melecehkan tubuh kurus Jokowi.
“Padahal menjadi pemimpin itu bukan masalah kurus atau gemuk, tapi persoalan kejujuran dan hati nurani. Buat apa gemuk kalau gemuknya ternyata hasil makan duit korupsi sapi misalnya?” sindir Joko.
Joko juga menyoroti ucapan doa Tifatul yang terkesan menyindir hubungan Jokowi sebagai kader PDIP dengan Megawati Soekarnoputri.
Salah satu penggalan doa yang dipanjatkan Tifatul yang juga mentan Menkominfo ini memang berbunyi, “Berilah hidayah kepada pemimpin negeri, kepada menteri, kepada wakil rakyat Indonesia agar mereka lebih takut pada azab-Mu bukan kepada pimpinan partainya.”
“Di mana pun presiden di dunia ini, pasti tunduk pada kebijakan partai, kecuali diktaktor. Kalau diktaktor, bukan cuma rakyat yang harus tunduk pada kemauannya, bahkan partai yang telah membesarkannya pun harus tunduk pada kemauannya. Dalam pandangan saya, Jokowi bukan diktaktor seperti banyak pemimpin diktaktor di masa lalu,” kata Joko.
Dia berharap di masa mendatang, kegiatan berdoa bersama dilakukan secara tulus dan ikhlas, serta tidak dikotori oleh kepentingan politik praktis.
Pembacaan doa di komplek parlemen kali ini seperti mengulang insiden doa kontroversial yang dilakukan Muhammad Syafi’i tahun 2016 lalu. Saat itu, politisi Gerindra ini memanjatkan doa agar Indonesia dihindarkan dari pemimpin yang berkhianat pada publik. Banyak pihak menilai doa Syafi’i saat itu sebagai sindiran yang ditujukan pada Presiden Jokowi.
Penulis: Yon K