Medan-SuaraNusantara
Kasus penipuan dan penggelapan yang menjerat Mantan Calon Walikota Medan periode 2015-2020 Ramadhan Pohan—kader/fungsionaris Partai Demokrat dan mantan anggota DPR RI—sudah didudukkan di kursi terdakwa karena melakukan tindak pidana penipuan uang sebesar Rp15,3 miliar, dengan salah satu korban diketahui bernama LHH Sianipar yang ditipu sebanyak Rp4,5 miliar. Kasus ini sudah disidangkan dua kali di PN Negeri Medan.
Namun yang menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Kota Medan, Ramadhan Pohan tidak ditahan sejak ditangani oleh pihak kepolisian maupun di kejaksaan.
Parma Bintang SH, anggota Bidang Hukum dan HAM Dhipa Adista Justicia Medan, mengungkapkan bahwa apa yang sedang terjadi dalam proses penangan kasus penipuan yang disangkakakn dan didakwakan kepada Ramadhan Pohan, membuktikan adanya ketidakpatutan dalam penangan kasus tersebut.
“Tidak ditahannya Ramadhan Pohan menjadi salah satu indikasi bahwa memang benar hukum itu tidak tajam ke atas, dan hanya tajam ke bawah,” kata Parma Bintang yang menegaskan bahwa di mata hukum tidak ada hak siapa pun untuk mendapatkan perlakuan istimewa.
“Kalau memang sudah terpenuhi adanya dua alat bukti yang menguatkan, tidak ada alasan untuk tidak menahan Ramadhan Pohan. Di mata hukum semua pelaku tindak kejahatan, mendapatkan perlakuan yang sama. Apalagi uang yang berhasil ditipunya, bukan dalam jumlah kecil, uang itu sebanyak Rp15,3 miliar,” kata Parma Bintang.
Kalau Ramadhan Pohan tidak ditahan karena dinilai pihak kepolisian sangan koperatif, menurut Parma Bintang, tidaklah demikian.
“Ramadhan Pohan justru sangat tidak koperatif, karena dua kali dia tidak mengindahkan surat panggilan dari pihak Poldasu. Ketidakkoperatifnya itulah yang membuat pihak Poldasu mengeluarkan instruksi untuk membawa paksa Ramadhan Pohan dari Jakarta dan itu yang dilakukan pihak kepolisian. Seharusnyalah pihak kepolisian melakukan tindakan penahanan karena Ramadhan Pohan sebanyak dua kali tidak mengindahkan panggilan polisi,” kata Parma Bintang.
Parma Bintang memberi contoh kasus, seorang sekretaris kecamatan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disangkakan melakukan tindak penipuan Rp32 juta, langsung ditahan pihak kepolisian. Namun, dalam kasus Ramadhan Pohan yang disangkakan dan didakwa melakukan penipuan Rp15,3 miliar, justru tidak ditahan pihak kepolisian maupun kejaksaan.
“Ada yang patut dipertanyakan dalam kasus Ramadhan Pohan yang tidak ditahan walau tindakannya sudah sangat merugikan korban. Sangat tidak etis, seorang kader Partai Demokrat, yang mantan anggota Komisi III DPR RI dan mantan calon walikota Medan, melakukan tindakan pidana penipuan,” kata Parma Bintang.
Modus operandi Ramadhan Pohan, yakni dengan cara membujuk korban untuk menyerahkan uang sebesar Rp4,5 miliar. Uang tersebut diserahkan di kantor pemenangan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan, Ramadhan Pohan-Eddy Kusuma pada Desember 2015, atau menjelang pelaksanaan Pilkada Kota Medan.
Ketika diperiksa pihak kepolisian, Ramadhan berjanji akan mengembalikan uang Rp4,5 miliar itu dalam waktu seminggu. Sebagai jaminan dia menyerahkan cek senilai 4,5 miliar. Peminjaman ini pun melalui proses dan melibatkan perantara. Perantara tersebut berinisial LP.
Ramadhan Pohan bersama LP membujuk korban untuk menyerahkan uang dengan jaminan satu lembar cek senilai Rp4,5 miliar guna mendukung Pilkada dan akan dibayar paling lama satu minggu dengan imbalan akan diberi uang sebesar Rp600 juta. Namun, sampai saat ini cek tersebut tidak dapat dicairkan karena dananya tidak cukup.
Pasca-pencairan cek yang tidak bisa dilakukan tersebut, korban pun terus menagih. Namun, Ramadhan selalu mengelak. Korban LHH Sianipar kemudian mengadukan kasus itu ke Polda Sumut pada 18 Maret 2016. Saksi yang diperiksa 14 orang, termasuk RP. (ingot simangunsong)