
Jakarta-SuaraNusantara
Pemerintah Kabupaten Nias Utara belakangan ini menjadi sorotan publik setelah ditemukan beberapa kasus balita menderita gizi buruk, seorang di antaranya bahkan meninggal dunia.
Menurut data yang diterima SuaraNusantara, setidaknya ada 11 balita penderita gizi buruk di Kabupaten Nias Utara, sepanjang tahun 2017 ini.
Mereka adalah Yosefin Gea (Desa Dahana, Kec. Namohalu Esiwa), Fidelima Harefa (Desa Dahana, Kec. Namohalu Esiwa), Jelis Lahagu (Desa Hilibanua, Kec. Namohalu Esiwa), Indah Putri Harefa (Desa Namohalu, Kec. Namohalu Esiwa), Rifal Mikhalis Laoli (Desa Afia, Kec. Lahewa).
Kemudian Enjel Pricilia Lase (Desa Hiligawolo, Kec. Lahewa), Herdiaman Zebua (Kelurahan Lahewa, Kec. Lahewa), Joi Lahagu (Desa Hilibanua, Kec. Namohalu Esiwa), Matius Harefa (Desa Lauru Fadoro, Kec. Afulu), Elna Meinasari Lase (Desa Faekhunaa, Kec.Afulu), dan Alfian Septian Zalukhu (Desa Tetehosi Sorowi Kec. Lahewa Timur).
Dari semua penderita gizi buruk yang berhasil didata, mungkin Rifal Mikhalis Laoli paling menyita perhatian masyarakat. Rifal dilahirkan dengan berat normal 3,2 Kg. Namun setelah beberapa bulan berat badan Rifal terus menyusut sehingga dibawa berobat ke Puskesmas Lahewa.
Namun pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Utara yang bertugas di Puskesmas Lahewa dan Pustu Desa Afia dikabarkan terkesan tidak maksimal melakukan penanganan. Bahkan para pegawai Dinas Kesehatan ini mengatakan kepada keluarga Rival kalau pemerintah daerah yang menangani masalah gizi buruk ini akan sangat lama prosesnya bahkan susah untuk dibiayai. Akibatnya saat itu ibunda Rival, Emilia Baeha, putus asa dan tidak bisa buat apa-apa.
Barulah ketika kondisi Rifal diketahui oleh Tim Reaksi Cepat Perlindungan Anak (TRC PA) Kepulauan Nias, pada bulan Agustus 2017 silam, balita berusia 1 tahun 4 bulan itu segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Gunungsitoli untuk mendapatkan perawatan. Sayangnya, karena kondisinya saat tiba di rumah sakit sudah parah, nyawa Rifal tak dapat diselamatkan.
Definisi gizi buruk atau malnutrisi adalah suatu bentuk terparah akibat kurang gizi menahun. Selain akibat kurang konsumsi jenis makanan bernutrisi seimbang, gizi buruk juga bisa disebabkan oleh penyakit-penyakit tertentu yang menyebabkan gangguan pencernaan atau gangguan penyerapan zat makanan yang penting untuk tubuh.
Penderita gizi buruk, terutama anak-anak, bisa mengalami kematian bila kondisi tersebut terus dibiarkan. Penderita yang berhasil diselamatkan pun di kemudian hari berpotensi mengalami penurunan kecerdasan dan gangguan mental. Hal ini dikarenakan gangguan gizi yang dialami oleh balita di masa golden periode (0-2 tahun) dapat mengganggu perkembangan otak, dan kondisi ini bersifat irreversible (sulit pulih kembali).
Otak merupakan organ vital yang mempengaruhi hampir semua fungsi tubuh dan mental anak di kemudian hari. Dampak jangka pendek dari gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah gangguan bicara dan gangguan perkembangan lain.
“Untuk jangka panjang adalah penurunan tingkat kecerdasan (skor IQ), penurunan perkembangan kognitif, dan integrasi sensori,” ujar Dr.Tirta Prawita Sari,MSc,Sp.GK, selaku Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi pada sebuah kesempatan.
Sementara itu Dr.Taufik Pasiak,M.PdI,M.Kes, Ketua Pengurus Pusat Neurosians Indonesia, menjelaskan perkembangan otak yang terganggu akibat gangguan gizi pada masa perkembangan akan menciptakan generasi-generasi terbelakang, tidak jujur, tidak memiliki disiplin, tidak gemar membaca, yang dikhawatirkan jika jumlahnya sangat banyak maka tanpa disadari kita telah menghancurkan generasi akan datang dari bangsa ini.
Karena itu, diperlukan kerjasama semua pihak terkait untuk mendeteksi secara dini indikasi penderita gizi buruk di desa-desa, dalam hal ini dimulai dari Posyandu hingga Puskesmas karena pihak tersebut yang berhubungan langsung dengan semua balita di tiap desa.
Pemerintah daerah tidak bisa menutup mata dengan kasus-kasus gizi buruk yang terjadi di wilayahnya. Setiap laporan adanya penderita gizi buruk harus segera ditindaklanjuti. Tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kasus gizi buruk juga harus dilakukan. Tak ketinggalan, pegawai Dinas Kesehatan yang tidak melaporkan kasus gizi buruk harus diberi sanksi tegas. Semua hal ini perlu dilakukan bila pemerintah daerah serius ingin mensejahterakan masyarakatnya.
Pemerintah daerah harus lebih serius untuk menjalankan program-program penopang keberhasilan upaya pengentasan permasalahan gizi dan situasi kesehatan secara umum. Program yang harus terus dikawal selama 10-20 tahun ke depan untuk memastikan dua atau tiga generasi ke depan masih dapat diselamatkan dan tumbuh menjadi generasi unggul.
Khusus Kabupaten Nias Utara, kiranya pemerintah daerah setempat harus lebih memerhatikan kesejahteraan masyarakatnya, sebab bukan di tahun 2017 ini saja ditemukan kasus anak penderita gizi buruk. Sebelumnya di tahun 2016, Fellianus Hulu (2) dan Kris (9 bulan), keduanya warga Kecamatan Alasan, Kabupaten Nias Utara, juga mengalami kondisi serupa. Saat itu, Fellianus dan Kris dirawat di klinik Yayasan Karya Faomasi Zoaya, Gunungsitoli, dengan biaya dari pihak yayasan, bukan dari pemerintah daerah.
Penulis: Cipto