Suaranusantara.com – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerima 341 usul pembentukan daerah otonom baru (DOB), di mana enam di antaranya ingin menjadi daerah Istimewa, termasuk kampung halaman Presiden ke-7 RI Joko Widodo yakni Surakarta atau Solo.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima mempertanyakan urgensi pemberian status daerah Istimewa tersebut kepada Solo.
Sebab, menurut dia, kota Solo telah memiliki segalanya, sehingga tak ada hal lagi yang perlu di istimewakan pada kota tersebut.
Maka dari itu, ia mengatakan, Komisi II belum terlalu tertarik untuk membahas daerah istimewa sebagai sesuatu hal yang mendesak.
“Ya mulai ada keinginan (Solo masuk ke dalam 6 usulan), tapi saya melihat apakah relevansi untuk saat ini? Solo ini sudah menjadi kota dagang, Solo ini sudah menjadi kota pendidikan, kota industri, tidak ada lagi yang mesti diistimewakan, Solo dengan Papua sama,” kata Aria.
Aria berpandangan, jangan sampai pemberian daerah keistimewaan ini menimbulkan rasa ketidakadilan bagi daerah-daerah lainnya, seperti Solo yang minta pemekaran dari Jawa tengah, dengan berbentuk Daerah Istimewa Surakarta.
Usulan tersebut menurutnya harus mempertimbangkan rekam jejak Kota Solo bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pasalnya, secara historis, pemberian status Daerah Istimewa itu hanya mempunyai suatu kekhususan di dalam proses perlawanan zaman penjajahan dulu. Serta memiliki kekhasan sebagai daerah yang mempunyai kekhususan dan kebudayaan.
Daerah Istimewa Daerah Istimewa sendiri diatur dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana negara mengakui dan menghormati pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa.
Saat ini, terdapat dua provinsi yang memiliki status sebagai daerah istimewa. Pertama adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diatur lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kedua adalah Provinsi Aceh yang keistimewaannya diatur lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun jauh sebelum itu, Aceh mulai menerima status istimewanya pada 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959.
Discussion about this post