Suaranusantara.com- Presiden ke 5 RI Megawati Soekarnoputri sekaligus Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarmoputri pada 2009 lalu pernah menandatangani kontrak politik antara dirinya dengan serikat buruh terkait penghapusan outsourching.
Megawati Soekarnoputri berjanji demikian pada saat mengikuti gelaran Pilpres 2009 bersama dengan Prabowo Subianto. Megawati diketahui menjadi capres dan Prabowo sebagai cawapres kala itu.
Megawati Soekarnoputri menandatangani perjanjian kontrak politik bersama serikat buruh hapus outsourching terjadi saat rangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah) Presiden Soekarno atau Bung Karno ke-108.
Tepat di Lapangan Tugu Proklamasi Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Sabtu 6 Juni 2009, Megawati Soekarnoputri bersama serikat buruh menandatangani kontrak politik hapus outsourching.
“Dalam kontrak politik itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan berupaya menghapus ’outsourcing’ (tenaga kerja kontrak) pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” kata Ketua Panitia Lokal Harlah Bung Karno, Deden Darmansyah pada saat itu.
Tak hanya itu, Megawati juga berjanji kala itu untuk menjadikan Hari Buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei dan sebagai hari libur nasional.
Namun pada akhirnya janji atau kontrak politik tersebut tidak dapat terwujud, sebab Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto kalah pada Pilpres 2009.
Nyatanya hingga sekarang penghapusan outsourching itu tak dilakukan. Penerapan outsourching itu hingga kini masih terus berjalan di Indonesia.
Dalam peringatan Hari Buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei para buruh dan mahasiswa selalu gencar menyuarakan untuk meminta menghapus outsourching.
Outsourching dianggap tak memberikan kejelasan status para pekerja alih daya. Para pekerja outsourcing tidak mendapat tunjangan dan waktu kerja tidak pasti karena tergantung kesepakatan kontrak.
Adapun batasan-batasan pekerjaan outsourcing ini tercantum dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan
Presiden RI Prabowo Subianto pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 menyoroti hal tersebut berkomitmen akan menghapus outsourching.
Outsourcing pertama kali diresmikan di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang termuat dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Megawati mengatur keberadaan perusahaan alih daya di Indonesia secara legal lewat UU Ketenagakerjaan.
Adanya UU Ketenagakerjaan, penyedia tenaga kerja alih daya yang berbentuk badan hukum wajib memenuhi hak-hak pekerja.
Di dalamnya juga diatur bahwa hanya pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan.
Kendati demikian, keluarnya aturan pemerintah yang melegalkan praktik outsourcing diprotes banyak kalangan pada saat itu, karena dianggap tak memberikan kejelasan status dan kepastian kesejahteraan pekerja alih daya.
Para pekerja yang berstatus outsourcing tidak mendapat tunjangan dan waktu kerja tidak pasti karena tergantung kesepakatan kontrak
Adapun batasan-batasan pekerjaan outsourcing ini tercantum dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Di pasal tersebut, pekerja outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.
“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi,” bunyi Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Jauh setelah kontrak politik Megawati tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menegaskan bahwa aturan terkait outsourcing harus diatur dalam undang-undang untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja alih daya.
“Menurut Mahkamah, perlu ada kejelasan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam perjanjian alih daya,” kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam pertimbangan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja terkait klaster alih daya yang diajukan oleh Partai Buruh dkk.
Dengan demikian kejelasan tersebut tentu akan memberikan perlindungan hukum berupa hak-hak dasar seperti upah, tunjangan.
“Kejelasan ini akan memberikan perlindungan hukum yang adil kepada pekerja/buruh mengenai status kerja dan hak-hak dasarnya, seperti upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak karena sudah ditetapkan jenis pekerjaan alih dayanya dalam perjanjian kerja,” kata Daniel.
MK menilai Pasal 64 dalam Pasal 81 angka 18 UU Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah Pasal 64 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak secara jelas mengatur mengenai penyerahan sebagian pekerjaan alih daya.
Sementara, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 yang menjadi aturan turunan UU ini juga tidak mengatur ketentuan outsourcing tersebut.
MK pun meminta menteri yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk memperjelas aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik outsourcing pada peraturan undang-undang.
Discussion about this post