Suaranusantara.com – Anggota Komisi XIII DPR RI, Marinus Gea merespon pernyataan Menteri Hukum (Menkum), Supratman Andi Agtas terkait pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk kasus korupsi, tidak hanya dapat diberikan melalui keputusan Presiden, melainkan juga melalui mekanisme denda damai.
Dimana, kewenangan untuk menerapkan denda damai berada di tangan Kejaksaan Agung (Kejagung). Sebab, hal itu diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru.
Menurut Marinus Gea, pernyataan tersebut memberikan penafsiran baru terkait UU tersebut.
Padahal, kata Marinus, menurut Kejagung pasal dalam UU itu bersifat sektoral ekonomi, bukan korupsi.
“Pernyataan Pak Menkum itu memberikan penafsiran baru terhadap UU itu. Pernyataan Kapuspem Kejagung mengatakan bahwa pasal dalam UU itu sektoral ekonomi sifatnya, bukan korupsi. Nah, pemahaman ini harus menyatu lebih dulu dalam pemahamannya diantara pemerintah,” kata Marinus kepada Suaranusantara.com, Minggu (28/12/2024).
“Kalau makna pasal itu diperluas, sebaiknya segera direvisi agar tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat,” tambahnya.
Dia berpendapat, apabila pemerintah menggunakan pernyataan Menkumham, maka banyak yang akan mendapatkan keuntungan.
“Jika menggunakan pernyataan Pak Menkum, maka banyak yang diuntungkan dengan membayar denda damai. Denda Damai bisa dipastikan nilainya menjadi ruang negosiasi dan menimbulkan perbuatan hukum baru,” ucapnya.
Tak hanya itu, kata politisi PDIP tersebut, pernyataan Menkumham membuat tindakan korupsi meningkat di Indonesia.
Sebab, mereka dapat mengatasi hukumannya dengan membayar denda damai.
“Keinginan bagi pelaku korupsi juga, bisa meningkat. Toh nanti bisa diselesaikan dengan Denda Damai,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Supratman Andi Agtas menyampaikan, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk kasus korupsi, tidak hanya dapat diberikan melalui keputusan Presiden. Alternatif lain adalah melalui mekanisme denda damai.
Menurut Supratman, kewenangan untuk menerapkan denda damai berada di tangan Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal ini diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru, yang memungkinkan pengampunan pidana dengan mekanisme tersebut.
“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (25/12/2024).
Discussion about this post