Suaranusantara.com- Anggota DPR RI Komisi XIII Fraksi PDI Perjuangan, Marinus Gea angkat bicara soal pernyataan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Atgas yang menyatakan bahwa pelaku tindak pidana dapat diberi pengampunan dengan alternatif denda damai.
Marinus Gea selaku Anggota Komisi XIII yang membawahi bidang Reformasi Regulasi dan HAM mengatakan bahwa pengampunan pelaku tindak pidana dengan denda damai ini maka dapat memberikan penafsiran baru tentang Undang-Undang.
Marinus Gea mengatakan pelaku tindak pidana berdasarkan pernyataan dari Kapuspem Kejagung itu sifatnya sektoral bukan korupsi.
“Pernyataan Pak Menkum itu memberikan penafsiran baru terhadap UU itu. Pernyataan Kapuspem Kejagung mengatakan bahwa pasal dalam UU itu sektoral ekonomi sifatnya, bukan korupsi,” ujar Marinus Gea pada tertulis Minggu 29 Desember 2024.
Menurut Marinus, pemahaman itu pun harus menyatu dengan pemerintah.
Apabila mengalami perubahan yang maknanya lebih luas lagi, maka Marinus berharap itu dapat direvisi sehingga tidak menimbulkan kerisauan di masyarakat.
“Nah, pemahaman ini harus menyatu lebih dulu dalam pemahamannya diantara pemerintah. Kalau makna pasal itu diperluas, sebaiknya segera direvisi agar tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat.
Terkait dengan denda damai yang dinyatakan Menkum Andi Atgas, menurut Marinus akanbanyak yang diuntungkan.
Marinus berujar dengan adanya denda damai, maka akan timbul dampak yang kurang baik misal negosiasi antara pelaku dan pemberi hukuman. Bahkan bisa juga menimbulkan perbuatan hukum baru.
“Jika menggunakan pernyataan Pak Menkum, maka banyak yang diuntungkan dengan membayar denda damai. Denda Damai bisa dipastikan nilainya menjadi ruang negosiasi dan menimbulkan perbuatan hukum baru,” sambung pria berkacamata itu.
Jika itu nanti diberlakukan, maka kata Marinus tidak menutup kemungkinan pelaku tindak pidana akan meningkat. Sebab dengan denda damai maka semua perkara selesai.
“Keinginan bagi pelaku korupsi juga, bisa meningkat. Toh nanti bisa diselesaikan dengan Denda Damai.
Namun apabila aturan ini ingin dijalankan, maka makna dalam peraturan tidak dibuat multi tafsir.
Karena jika makna dalam peraturan dibuat multi tafsir, maka akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu lantaran menilai salah tafir.
“Aturan ini bisa berjalan sepanjang makna peraturan yang dibuat ini tidak multi tafsir tadi diminimalisir. Pasal pasal dalam UU sering dimanfaatkan akibar salah tafsir. Kenapa? Karena kalimat dan pernyataan dalam pasal itu tidak tegas dan menjadi ruang abu abu yang bisa benar dan bisa salah,” bebernya.
Maka dari itu, Marinus berharap dalam menerapkan sebuah aturan baru maka haruslah diawasi. Dan penegak hukim haruslah benar-benar melaksanakan UU.
“Mekanisme pengawasan berjalan sepanjang aturan jelas. Catatannya: jika penegak hukum benar benar melaksanakan UU yang mengatur pemberantasan korupsi maka koruptornya bisa diminimalisir. Niatnya yang harus diperbaiki.”
Menkum Supratman Andi Atgas sebelumnya mengatakan bahwa alternatif denda damai bisa diberikan kepada pelaku tindak pidana apa saja termasuk korupsi.
Menurut Supratman, kewenangan untuk menerapkan denda damai berada di tangan Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal ini diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru, yang memungkinkan pengampunan pidana dengan mekanisme tersebut.
“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu 25 Desember 2024.
Denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang besarannya ditentukan dan disetujui oleh Jaksa Agung. Mekanisme ini dapat diterapkan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.
Discussion about this post