Jakarta-SuaraNusantara
Komisaris Jenderal M. Tito Karnavian resmi menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Badrodin Haiti. Tito dilantik langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Rabu (13/7/2016) siang. Pelantikan ini sekaligus menaikkan pangkat Tito satu tingkat lebih tinggi menjadi Jenderal Polisi.
Tito dilantik sesuai Keputusan Presiden tentang pengangkatan Kapolri Nomor 48/Polri/Tahun 2016. Keppres tersebut dibacakan langsung oleh Sekretaris Militer Presiden Marsekal Muda TNI Hadi Tjahyanto. Dalam Keppres disebutkan memberhentikan dengan hormat Jenderal Pol Badrodin Haiti dari jabatan Kapolri dan dalam poin berikutnya mengangkat Komjen Pol M Tito Karnavian dengan NRP 64100600.
Setelah pengucapan sumpah, acara dilanjutkan dengan penandatanganan sumpah jabatan oleh Presiden Jokowi dan Tito. Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo turut membubuhkan tanda tangan sebagai saksi.
”Atas nama rakyat Indonesia, saya ucapkan selamat. Anda diberi amanat, diberi tanggung jawab untuk pemeliharaan keamanan, masyarakat dapat perlindungan dan pengayoman,” ujar Jokowi.
Selain Jokowi, terlihat hadir dalam pelantikan, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Ibu Negara Iriana Widodo dan Megawati Soekarnoputri.
Usai pelantikan, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan rangkap jabatan yang nanti akan diemban oleh Komisaris Jenderal Tito Karnavian tak akan berlangsung lama. Setelah Tito dilantik menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia, harus segera mengusulkan nama untuk dicalonkan menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
“Kepala BNPT kan menjadi Kapolri maka harus segera mengusulkan (nama baru), tak boleh rangkap terlalu lama,” kata Pramono.
Pramono menuturkan pemilihan nama Kepala BNPT tidak perlu melalui proses serumit pemilihan Kapolri karena tinggal melalui Tim Penilai Akhir (TPA) dan kebetulan pihaknya merupakan salah satu bagian dari TPA tersebut.
Meski berlangsung lancar, namun pelantikan Tito Karnavian sebagai Kapolri sebenarnya diwarnai “unjuk rasa”. Seorang wanita berseragam PNS asal Deli Serdang, Sumatera Utara, bernama Nelly Hutabarat melakukan aksi demonstrasi dengan cara berdiri diam mematung di depan Istana Negara.
Namun meski aksinya itu bertepatan dengan waktu pelantikan Kapolri, unjuk rasa yang unik itu tidak ditujukan untuk Tito, melainkan Jokowi. “Ini soal penindasan guru. Presiden harus tahu. Pemerintah tidak boleh abai,” seru Nelly kepada para wartawan.
Sebuah karton putih dikalungkan di lehernya. Pada karton tersebut terdapat pesan dengan tinta hitam untuk Kepala Staf Presiden, Teten Masduki.
“Bapak Teten Masduki. Tolong saya ya Pak. Sudah 5 tahun saya berjuang untuk keadilan. Saya guru tertindas dari Kab. Deli Serdang Sumut. Datang ke Jakarta ini untuk bisa bertemu langsung dengan bapak Presiden. Harapan terakhir saya mewujudkan keadilan.”
Nelly menuntut keadilan atas kasus penutupan sekolah dan pembongkaran rumah dinas secara paksa berdasarkan SK Kepala Dinas Dikpor pada 24 November 2011 silam. Pembongkaran dan pengusiran tersebut disertai penganiayaan dan pengrusakan barang.
“Saya sudah bosan lapor polisi. Saya lapor ke Polsek Percut Sei Tuan, tapi sejak tahun 2011 tidak ada tindak lanjutnya. Pengusiran juga dilakukan saat proses gugatan masih berjalan,” paparnya.
Selain itu, selama lima tahun terakhir, Nelly juga menyurati sejumlah lembaga negara, termasuk menemui M. Nuh selaku Menteri Pendidikan Nasional saat itu.
Beberapa tahun lalu dia pernah nekat mendatangi Istana Negara untuk mengadu langsung ke Presiden. Tetapi ditolak mentah-mentah oleh pasukan pengamanan Istana. Ia kemudian melayangkan surat kepada Presiden RI. “Semua tidak ada yang merespon,” ujar Nelly. (fajar)