Suaranusantara.com- Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui keterangan resmi pada Selasa siang 18 Maret 2025 secara mengejutkan mengumumkan untuk melakukan trading halt atau pembekuan sementaran perdagangan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
BEI melakukan trading halt terhadap IHSG selama tiga puluh menit pada pukul 11.19 WIB. Lalu pada pukul 11.49 WIB kembali dibuka.
Hal ini dikarenakan IHSG tengah mengalami penurunan tajam menyentuh 420,97 poin atau minus 6,58 persen ke level 6.046 pada Selasa siang.
Anjloknya IHSG pada kemarin siang, membuat membuka memori kembali pada beberapa momen terburuk dalam sejarah pasar modal Indonesia, termasuk krisis keuangan Asia 1998 dan pandemi covid-19 pada 2020.
Begini perbandingan anjloknya IHSG saat krisis 1998 hingga Covid 19:
Krisis 1998
Pada 8 Januari 1998, IHSG mencatat penurunan harian terdalam sepanjang sejarah, jatuh hingga hampir 12 persen dalam sehari ke level 347.
Kejatuhan ini terjadi di tengah krisis keuangan Asia 1997-1998 yang melumpuhkan ekonomi Indonesia.
Mata uang rupiah saat itu anjlok tajam terhadap dolar AS, sektor perbankan kolaps, dan banyak perusahaan besar bangkrut akibat tingginya utang dalam valuta asing.
Covid 19
Pandemi Covid 19 yang melanda pada 2020 lalu membuat IHSG mengalami kemerosotan tajam mencatat terjun bebas pada 9 Maret 2020 sebanyak 6,58 persen ke level 5.136,81, yang menjadi awal dari tujuh kali trading halt dalam beberapa pekan berikutnya.
“Sejak Maret 2020, perdagangan saham di bursa Indonesia mengalami penghentian sementara sebanyak tujuh kali. Penurunan pertama lebih dari 5 persen terjadi pada 9 Maret 2020, hanya sepekan setelah pengumuman kasus pertama covid-19 di Indonesia,” kata pengamat pasar modal Hendra Wardana pada Selasa 18 Maret 2025.
Pada 24 Maret 2020, IHSG mencapai titik terendah di level 3.937, turun 37 persen dari awal tahun. Hal ini memaksa otoritas bursa untuk mengubah aturan batas bawah penurunan harga saham, dari sebelumnya 25 persen-35 persen menjadi 10 persen, lalu diturunkan lagi ke 7 persen.
2025
Anjloknya IHSG pada kemarin siang menurut Pengamat Pasar Modal dan Uang Ibrahim Assuaibi membandingkan dengan peristiwa di 2019, saat perang dagang AS-China menyebabkan IHSG turun hingga 10 persen ke level 6.056.
“Saat itu, BEI melihat jika penurunan di atas 2 persen sudah berbahaya, di atas 5 persen harus dianalisis, sementara di atas 7,5 persen sudah dianggap sebagai krisis yang memerlukan tindakan cepat,” ujarnya.
Sementara itu, Head of Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi menyoroti faktor pemicu kejatuhan IHSG hari ini, yang lebih didorong oleh sentimen ekonomi domestik seperti penerimaan pajak yang mengalami penurunan dan aksi jual besar-besaran investor asing.
“Kami melihat dampaknya merupakan akumulasi dari beberapa sentimen negatif, terutama defisit APBN yang meningkat tajam. Per Februari 2025, defisit mencapai 0,13 persen dari PDB atau Rp31,2 triliun, dibandingkan tahun lalu yang masih surplus Rp26,04 triliun. Penerimaan pajak juga turun drastis, dari Rp400,36 triliun pada Februari 2024 menjadi hanya Rp187,8 triliun di bulan yang sama tahun ini,” jelas Oktavianus.
Menurutnya, kekhawatiran terhadap kondisi fiskal ini mendorong arus modal keluar (capital outflow) secara besar-besaran. Hingga 17 Maret 2025, investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp26,9 triliun.
“Sentimen ini terus mendorong aksi jual di IHSG dan akhirnya ‘meledak’ hari ini, diperparah oleh aksi ambil untung di saham teknologi yang sebelumnya mengalami kenaikan tajam. Tekanan juga terjadi pada saham-saham perbankan besar yang semakin menekan IHSG,” lanjutnya.
Oktavianus juga mencatat panic selling dari investor ritel turut memperburuk situasi, sehingga BEI terpaksa melakukan trading halt untuk meredam volatilitas.
Discussion about this post