Suaranusantara.com- Di balik keanggunan kebaya yang dikenakan banyak perempuan hari ini, tersimpan jejak sejarah yang panjang. Dari Majapahit hingga Kartini, busana ini terus mengalami transformasi. Tapi kenapa kebaya begitu identik dengan Hari Kartini dan bukan simbol lainnya?
Tradisi berkebaya pada Hari Kartini memang telah menjadi bagian dari budaya populer. Di banyak institusi pendidikan, siswi diminta mengenakan kebaya sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh emansipasi perempuan ini. Begitu pula di lingkungan kerja formal, perempuan tampil anggun dalam balutan kebaya, yang dianggap merepresentasikan sosok Kartini.
Meski demikian, tradisi ini tak lepas dari pertanyaan. Banyak pihak mulai mempertanyakan, mengapa kebaya menjadi simbol utama dalam memperingati Hari Kartini? Bukankah yang diperjuangkan oleh RA Kartini bukan soal busana, melainkan tentang kesetaraan hak perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial?
Jawabannya ternyata terletak pada sejarah panjang kebaya itu sendiri. Kebaya diyakini sudah hadir di Nusantara sejak era Kerajaan Majapahit. Nama “kebaya” sendiri diperkirakan berasal dari kata Arab “abaya”, dan baru dikenal luas pada abad ke-12 hingga ke-14. Selama berabad-abad, kebaya berkembang mengikuti pengaruh budaya yang datang dari luar negeri, namun tetap memiliki ciri khas lokal yang kuat.
RA Kartini sendiri dikenal sering mengenakan kebaya dalam kesehariannya. Gaya busana yang ia pilih bukan hanya soal estetika, tapi juga mencerminkan karakternya—anggun, lembut, dan kuat. Kebaya yang melekat pada dirinya bahkan sampai dijuluki “kebaya Kartini”, yang ditandai dengan potongan panjang, rapi, dan elegan, tanpa memperlihatkan lekuk tubuh secara berlebihan. Bentuk ini dianggap ideal sebagai simbol kekuatan dalam kelembutan.
Tradisi mengenakan kebaya setiap 21 April sebenarnya baru populer sejak masa Orde Baru. Pemerintah saat itu mendorong perempuan untuk mengenakan kebaya khas Kartini sebagai bentuk peringatan nasional—simbolisasi kepribadian perempuan Indonesia yang kuat namun tetap anggun.
Kini, kebaya tak hanya dipandang sebagai warisan budaya semata, tetapi juga telah mendapatkan pengakuan dunia. Pada tahun 2024 lalu, kebaya resmi masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO, mempertegas posisinya sebagai ikon penting dalam sejarah dan identitas budaya Indonesia.
Meski mengenakan kebaya menjadi tradisi yang indah dan bermakna, penting juga untuk tidak melupakan esensi utama dari Hari Kartini itu sendiri—yakni perjuangan untuk kesetaraan hak perempuan. Peringatan ini seharusnya juga menjadi pengingat bahwa warisan terbesar Kartini bukanlah kain, melainkan semangat perubahan.
Discussion about this post