Suaranusantara.com- Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada Kamis 20 Maret 2025 melalui rapat paripurna DPR ke 15 Masa Sidang II Tahun Persidangan 2024-2025 di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Masyarakat dan mahasiswa khawatir dengan disahkannya RUU TNI menjadi UU maka akan menghidupkan kembali celah Dwifungsi ABRI.
Lantas apakah benar pengesahan RUU TNI menjadi UU akan dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI?
Anggota Komisi I DPR Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin mengatakan kritikan dan kekhawatiran itu wajar dalam sebuah demokrasi.
“Kekhawatiran publik atas kembalinya dwifungsi ABRI era Irba yang digaungkan dalam kritik/protes tersebut juga hal lumrah,” ujarnya pada Kamis 20 Maret 2025.
Dia menegaskan bahwa DPR bersama pemerintah berkomitmen kuat terhadap profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara yang tidak berpolitik dan tidak berbisnis.
Kata Hasanuddin hal ini dibuktikan dalam Pasal 2 Butir (d) yang menegaskan jati diri TNI sebagai tentara profesional.
Selain itu, juga tertera dalam Pasal 39 yang tetap melarang prajurit aktif TNI untuk berpolitik praktis, menjadi anggota partai politik, berbisnis serta mengikuti pemilu.
“DPR dan pemerintah juga sepakat mempertahankan Pasal 47 Ayat 1 yang mewajibkan prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil untuk mengundurkan diri atau pensiun. Artinya, aturan ini tetap konsisten melarang Dwifungsi TNI,” ujarnya lagi.
Kata Hasanuddin, kekhawatiran publik terkait hal tersebut tidak beralasan. Sebab, dengan adanya RUU TNI yang kini sah jadi UU justru memperketat aturan dengan melakukan limitasi terhadap instansi yang dapat diisi prajurit aktif.
“Penambahan Pasal 42 Ayat 2 bukanlah bentuk ekspansi, melainkan pembatasan terhadap pos-pos yang dapat diisi prajurit aktif. Lima institusi tersebut yakni pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut dan Kejaksaan Agung, memang memiliki keterkaitan dengan sektor pertahanan dan kemampuan teknis kemiliteran,” sambungnya.
Lebih lanjut, usai RUU TNI disahkan jadi UU, prajurit aktif yang menduduki jabatan di lembaga negara di luar instansi yang telah diatur seperti BUMN, Bulog dan Kementerian Perhubungan wajib mengundurkan diri atau pensiun dini jika ingin tetap menduduki jabatan sipil.
“Dengan demikian, tidak ada penambahan jumlah kementerian atau lembaga yang dapat diisi prajurit aktif TNI dan tidak ada perubahan terhadap pasal-pasal yang melarang praktik dwifungsi TNI. Justru revisi ini memberikan kepastian hukum yang lebih kuat untuk menjaga profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara,” pungkasnya.
Senada dengan Hasanuddin, Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan meskipun ada perubahan dalam regulasi ini, DPR dan pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga supremasi sipil, hak-hak demokrasi serta hak asasi manusia sesuai dengan aturan yang berlaku di seluruh Indonesia maupun standar internasional.
“DPR RI dan pemerintah tetap menegaskan bahwa tetap mengedepankan supremasi sipil hak-hak demokrasi serta hak asasi manusia sesuai dengan aturan yang berlaku di seluruh Indonesia maupun standar internasional,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Fraksi PDI Perjuangan Utut Adianto juga mengatakan bahwa perubahan RUU TNI tetap berlandaskan supremasi sipil, hak-hak asasi manusia.
“Kami menegaskan bahwa perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tetap berlandaskan pada nilai supremasi sipil, hak-hak asasi manusia serta memenuhi ketentuan,” ujarnya.
Discussion about this post