Suaranusantara.com- Di tengah modernisasi dan digitalisasi dunia kerja, Hari Buruh tetap menjadi simbol perjuangan yang relevan. Tak hanya memperingati sejarah Hari Buruh, tetapi juga momentum untuk mengevaluasi kondisi para pekerja di masa kini.
Setiap peringatan 1 Mei menjadi pengingat bahwa hak-hak buruh tidak diberikan begitu saja, melainkan hasil dari rangkaian perjuangan berdarah dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.
Peringatan ini tidak hanya menjadi agenda tahunan, tetapi juga pengingat sejarah panjang perjuangan kelas pekerja yang bermula dari aksi besar di Chicago, Amerika Serikat, lebih dari satu abad silam.
Aksi tersebut, yang berlangsung dari tanggal 1 hingga 4 Mei 1886, merupakan tonggak penting ketika ribuan buruh menuntut pengurangan jam kerja yang tak manusiawi. Sayangnya, aksi damai itu berubah tragis setelah terjadi bentrokan dengan polisi, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan para buruh, Kongres Sosialis Internasional II yang diselenggarakan di Paris tahun 1889 akhirnya menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Sejak saat itu, momentum ini menjadi simbol solidaritas pekerja lintas negara. Di Indonesia sendiri, peringatan Hari Buruh mengalami jalan yang berliku, tergantung pada siapa yang tengah memimpin negeri.
Di era Presiden Soekarno, Hari Buruh dirayakan dengan semangat tinggi. Bung Karno bahkan kerap hadir langsung dalam peringatannya. Ia mendorong para buruh untuk aktif membentuk kekuatan politik melalui serikat, pendidikan politik, serta kegiatan sosial ekonomi seperti koperasi. Soekarno memandang pentingnya kebebasan berorganisasi dan berekspresi bagi para pekerja untuk memperkuat posisi mereka dalam masyarakat.
Namun, suasana berubah drastis ketika pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mengambil alih. Dengan alasan kekhawatiran terhadap pengaruh ideologi komunis, Soeharto mencabut status Hari Buruh sebagai hari libur nasional pada 19 April 1968. Ia bahkan menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja versi pemerintah, bersamaan dengan pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai wadah tunggal buruh di Indonesia.
Barulah pada masa reformasi, di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie, angin segar kembali berembus. Pada 1998, Indonesia meratifikasi sejumlah konvensi dasar dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), termasuk yang menjamin kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi. Sejak saat itu, berbagai serikat buruh kembali bermunculan dan memperjuangkan hak-hak pekerja secara terbuka.
Puncak pengakuan terhadap Hari Buruh terjadi di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013, pemerintah menetapkan kembali tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional. Keputusan itu mulai berlaku pada 2014 dan terus dilanjutkan hingga saat ini. Langkah tersebut diambil setelah Presiden SBY melakukan pertemuan dengan perwakilan buruh, sebagai wujud penghargaan terhadap perjuangan para pekerja.
Kini, Hari Buruh tak hanya menjadi bagian dari sejarah. Ia adalah ruang bagi para pekerja untuk menyuarakan tuntutan, merayakan solidaritas, dan mengingat kembali bahwa setiap hak yang mereka miliki hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang dan penuh pengorbanan.
Discussion about this post